Kamis, 28 Februari 2013

Visi Dan Panggilan Hidup


I. Apa itu Visi Hidup?
Visi berasal dari kata vision yang artinya sesuatu yang dilihat. Dalam Longman Dictionary of Contemporary English vision didefinisikan sebagai ‘the knowledge and imagination that are needed in planning for the future with a clear purpose’. Sedangkan seorang yang visioner adalah ‘someone who has clear ideas and strong feelings about the way something should be in the future’.
George Barna dalam bukunya Leaders on Leadership memberikan definisi ‘sebuah gambaran masa depan yang sangat jelas yang Allah komunikasikan kepada para pemimpin dan pelayanNya berdasarkan pengenalan yang akurat tentang Allah, diri sendiri dan lingkungan’.
John Stott memberikan definisi yang sangat luar biasa mengenai visi sebagai ‘ketidakpuasan yang mendalam tentang fakta sebagaimana adanya masa kini, yang membangkitkan pandangan yang amat tajam tentang masa depan yang seharusnya terjadi sebagai suatu kemungkinan’. Karena itu bisa berisi amarah terhadap suatu status quo yang menjelma menjadi usaha serius untuk mencari alternative.


II. Visi dan Panggilan Hidup
A. Mengapa Kita Memerlukannya?
a. Tanpa visi hidup menjadi liar tidak terarah (Ams 29:18)
b. Supaya terhindar dari cara hidup yang sia-sia (1Pet 1:18, Mat 12:36)
c. Supaya dapat membuat prioritas dan tujuan yang jelas (1Kor 9:26)
d. Allah telah mempersiapkan suatu pekerjaan baik buat kita (Ef 2:10)
e. Untuk memiliki komitmen yang kokoh dalam masa sulit dan pengujian (Kis 26:19)

B. Panggilan, Pekerjaan, Karir dan Kehendak Allah
Visi yang dari Allah biasanya diterjemahkan menjadi suatu panggilan tertentu dalam hidup kita. Panggilan tidak sama dengan pekerjaan, dan berbeda pula dengan karir. Marilah kita belajar dari Musa dalam Kel 3-4:
  1. Pekerjaannya adalah pengembala ternak milik mertua
  2. Karirnya kelihatannya kurang baik, paling dapat sebagian warisan kelak
  3. Tuhan memiliki Visi untuknya (Kel 3:7-10). Visi itu berisi keprihatinan dan beban Allah kepada Israel serta visi ilahi bagi umat yang dikasihiNya
  4. Panggilan Musa adalah membawa Israel keluar dari Mesir dan memimpin mereka ke Tanah Kanaan
  5. Musa tidak terlibat untuk membuat mereka mengalami ‘susu dan madu’
  6. Kini Musa harus melakukan pekerjaan baru dengan karir yang serba tidak pasti
  7. Musa pada akhirnya menjadi seorang yang sangat besar di mata Tuhan, Israel umat Allah, dunia dan sejarah (Ul 34:10-12)

Demikian juga dengan Nehemia. Bila kita membaca Kitab ini kita akan menemukan:
  1. Nehemia adalah seorang Juru Minum Raja, jabatan tinggi dan merupakan lingkaran dalam kerajaan.
  2. Karirnya sangat baik dan dia bekerja di Puri Susa, Istana Raja dan tempat beristirahat raja.
  3. Melalui kabar yang diterimanya dia merasakan beban dan panggilan dari Allah.
  4. Visi yang dimilikinya adalah Israel tidak lagi tercela dan tembok Jerusalem dibangun kembali.
  5. Nehemia kemudian meminta Raja untuk mengijinkannya pulang serta berganti karir menjadi pejabat khusus Jerusalem.
  6. Nehemia kemudian menghadapi banyak tantangan dari Tobia, Sanbalat dkk, tetapi dia terus setia pada Visi dan panggilan Hidupnya.
  7. Nehemia akhirnya berhasil membangun tembok Jerusalem (Neh 6:12), namun Nehemia tetap tinggal di sana untuk meneruskan pekerjaan memimpin dan memangun Israel secara holistik.

Setiap orang percaya diperintahkan mengerjakan dua hal, yaitu mandat budaya (Kej. 1: 28), sebuah mandat untuk mengeksplorasi dunia yang membawa kebaikan kepada manusia dibumi, dan kedua adalah mandat Injil (Mt. 28: 19-20). Dua mandat diatas tidak ada yang lebih superior atau lebih mengutamakan penginjilan daripada mandat budaya dan sebaliknya. Visi orang Kristen harus mendukung kedua visi diatas dan Visi adalah kerinduan Tuhan untuk hamba-hambanya.

III. Bagaimana Menemukan dan Merumuskan Visi Pribadi?
5 Langkah Sederhana Menemukan dan Merumuskan Visi Pribadi
1. Pikirkan dan Renungkan: Situasi, Tantangan dan Peluang
Situasi
Tantangan
Peluang
2. Daftarkan 10 Kerinduan Dalam Hidup Saudara
3. Ambillah Waktu Untuk Mengevaluasi: Tanggalkan dan Tambahkan
4. Pikirkan Hal-Hal Yang Harus Terwujud Dalam
Satu Tahun
Tiga Tahun
Lima Tahun
Sepuluh Tahun
5. Buatlah Tiga Prioritas Terpenting Dalam Hidup Anda

RUMUSKAN VISI HIDUP ANDA
-          Memotivasi Kita
-          Menciptakan Makna Kehidupan
-          Mendorong Kualitas Terbaik
-          Membimbing Dalam Menemukan Pendamping Hidup

V. Membuat Rencana Agar Visi Menjadi Realita

  1. Strategy (Count the Cost)
  1. Quality (Pay the Cost)
  1. Process, Training, Education (Create a Breakthrough)
  1. Transformation, Consistency, and Prayer (Make Change Happen) 
III. Apa Yang Bisa Membuat Visi Gagal?

  1. Vision Killers : Tradition. Traditions can form a foundation upon which He build the future because they serve His purposes. Indeed, He tends to reshape traditions by moving them in new directions. But God has no use for traditions that block progress
  2. Vision Killers : Fear. Sometimes we are overcome by fear because we have failed in the past and dare not reach for the stars again. Sometimes we dwell on our past failures or our sense of limitation. Vision raises questions, but it does not raise nagging doubts.
  3. Vision Killers : Stereotypes. A stereotype is a popular preconception about people or conditions. Christian culture and ministry too, are riddled with such cliches.
  4. Vision Killers : Complacency. Sometimes we fail to behave with vigor and passion because we are ignorant or complacent. “It doesn’t matter what we do. God will bless our efforts.” This statement is a prescription for half-baked, half-blessed ministry.
  5. Vision Killers : Fatigue. Ministry is not easy. Even the greatest spiritual warriors need times of rest. Jesus took time for solitude. If you have difficulty generating excitement about the vision or if you have trouble grasping the vision, check to see if you are running on empty. Vision calls for a tremendous degree of faith and energy. It is the wise leader who prepares the church body to hear and to embrace that vision by persuading them to rest for the next leg of the journey.
  6. Vision Killers : Short Term Thinking. Today, leaders are increasingly interested in cashing in resources for short-term benefits. The tragedy is that it leaves nothing in place for the long run. Rather than seek quick results and tangible benefits in the short term, how much better to dream the big dream and to be part of the fundamental transformation of people’s lives and of entire cultures.

VI. Penghalang Untuk Melihat Panggilan
            Ada enam penghalang kita untuk melihat panggilan kita :
1.   Gagal mengambil waktu untuk merefleksikan hidup. Adakah kita sedemikian serius akan visi hidup kita atau sekarang hal ini telah menjadi sesuatu yang terabaikan? Atau jangan-jangan orientasi kita sudah berbeda sekarang ini?
2.      Membuat perbedaan antara sekuler dan sacral (rohani) dalam memahami panggilan. Perbedaan ini akhirnya membuat kita meniadakan Tuhan di tempat kerja/ lingkungan hidup. Dan hanya di gereja, Kelompok Tumbuh Bersama dan pertemuan ibadah kita membicarakan Tuhan.
3.      Kegagalan membedakan panggilan dengan karier dan pekerjaan. Kita menggangap karena sulit memahami panggilan, kita focus kepada karir. Karir bisa bisa menjadi panggilan jika melalui karir misi Allah digenapi dan menjadi salah jika focus kita menjadi rasa aman.
4.      Mengalah terhadap tiga godaan: keinginan berkuasa, yaitu keinginan untuk mengontrol memilki pengaruh atau mengendalikan sesuatu; keinginan akan kemapanan dan keamanan; keinginan untuk populer dan prestise.
5.      Salah memahami tanggung jawab. Kita sering terjebak dengan menganggap kita memikul semua tanggung jawab kita sehingga kita memegang kuk yang seharusnya tidak bisa kita pikul.
      6.   Gagal mengapresiasi dan menerima keterbatasan.


Dalam bukunya “Courageous Leadership”, Bill Hybels mengatakan dia biasa mengajukan beberapa pertanyaan kepada orang2 yang merasa kesulitan menangkap visi dari Tuhan:

·     Sudahkah anda menyerahkan diri anda sepenuhnya kepada Tuhan?
  • Sudahkah anda bertanya kepada Tuhan untuk menyingkapkan visinya dalam hidup anda, atau anda hanya meminta Dia untuk memberkati rencana yang sudah anda pikirkan? Kita harus datang kepada Tuhan dengan tangan kosong dan hati yang terbuka dan bertanya, “Apa visiMu bagi hidupku?”
  • Sudahkah anda berpuasa?
  • Sudahkah anda berdoa?
  • Sudahkah anda berdiam dan menanti Tuhan di dalam keheningan?
  • Sudahkah anda membersihkan pola-pola dosa dalam hidup anda?
  • Sudahkah anda menyingkirkan gangguan dan kebisingan di sekitar anda yang menghalangi anda mendengar apa yang Tuhan ingin katakan kepada anda?
  • Sudahkah anda banyak membaca? Sudahkah anda banyak bepergian? Sudahkah anda mengunjungi berbagai macam pelayanan di sekeliling dunia? Sudahkah anda membuka diri kepada serentetan visi yang Tuhan pernah berikan kepada orang lain sehingga anda bisa terinspirasi oleh berbagai pilihan? Jika belum, keluarlah! Lihat apa yang Allah sedang lakukan!


Sumber bacaan :
1.  Bahan Retreat IAKPM, “Visi dan Panggilan Hidup” oleh Denni B. Saragih
2. Khotbah MBA PAK Perkantas Medan.
3. Courageous Leadership, Bill Haybel. Penerbit Zondervan. Hal 37.
4.Visioneering, Bagaimana Mengubah Visi Anda Menjadi Kenyataan, Andi Stanley, Penerbit Andi.


Rabu, 27 Februari 2013

Psalms 46:1-11 TNIV

 God is my refuge and strength,
       an ever-present help in trouble.
Therefore i will not fear,
             though the earth give way
             and the mountains fall into the heart of the sea,
             though its waters roar and foam and the mountains quake with their surging.
There is a river whose streams make glad the city of God,
             the holy place where the Most High dwells.
God is within her, she will not fall;
      God will help her at break of day.
Nations are in uproar, kingdoms fall;
      he lifts his voice, the earth melts.
The LORD Almighty is with me;
       the God of Jacob is my fortress.
Come and see what the LORD has done,
       the desolations he has brought on the earth.
He makes wars cease to the ends of the earth.
      He breaks the bow and shatters the spear;
            he burns the shields with fire.
 "Be still, and know that I am God;
          I will be exalted among the nations,
              I will be exalted in the earth."
The LORD Almighty is with me;
        the God of Jacob is my fortress.


Minggu, 24 Februari 2013

Robohnya Kesalehan Sosial


Dalam cerita pendek AA Navis Robohnya Surau Kami (1955), surau metafora kesalehan. Yang diratapi bukan bangunan fisik tetapi "suatu kesucian yang bakal roboh". Kesucian yang dimaksudnya bukan kesalehan individual yang ditandai dengan kesalehan ritual agama melainkan kesalehan sosial. 

Alkisah, Tuhan di akhirat sedang memeriksa antrean panjang orang-orang yang sudah meninggal. Giliran Saleh diperiksa. Ia tersenyum merasa yakin masuk surga. Ketika ditanya apa saja yang dilakukannya selama hidup, ia menjawab dengan lancar. Menyembah Tuhan dan menyebut nama-Nya, membaca kitab suci, memiliki pengetahuan iman, menjalankan rukun agama, tidak berbuat dosa. 

Ketika ditanya lagi apa saja yang dilakukannya selain itu, Saleh merasa ada sesuatu yang tidak beres, namun tak ada lagi yang bisa dikatakannya. Jatuhlah vonis untuk dirinya. Dinerakakan. Dan, ia terheran-heran. Lebih mengherankan lagi, ketika orang lain yang lebih saleh dari dirinya ternyata bernasib sama. 

Tak pelak terjadi kasak-kusuk di antara orang-orang yang dinerakakan itu. Mereka tidak puas dengan vonis itu. Standar penghakiman Tuhan dianggap tidak jelas. Lalu, mereka memberanikan diri menghadap Tuhan untuk minta penjelasan. 

"Di mana kalian tinggal?" 

"Indonesia." 

"Negeri yang tanahnya subur, sampai tanaman tumbuh tanpa ditanam? Negeri yang tambangnya kaya raya itu?" 

"Benar, Tuhan." 

"Tetapi, penduduknya banyak melarat? Negeri yang selalu kacau karena kalian suka berkelahi, sementara kekayaan alam kalian dikeruk orang lain?" 

"Benar, Tuhan. Kami tidak peduli dengan kekayaan alam kami. Yang penting, kami menyembah dan memuji-Mu." 

"Engkau rela tetap melarat? Juga anak cucumu ikut melarat?" 

"Tidak apa-apa, Tuhan, asal mereka taat beragama." 

"Meski ajaran agama itu tidak masuk di hati?" 

"Masuk di hati, Tuhan." 

"Kalau masuk di hati, mengapa kalian membiarkan diri tetap melarat sehingga anak cucu kalian teraniaya, kekayaan alam diambil orang lain untuk anak cucu mereka? Mengapa kalian lebih suka saling menipu dan memeras? Aku beri kalian negeri yang kaya, namun kalian malas dan tidak suka bekerja keras. Kalian lebih suka beribadat. Kalian kira Aku mabuk pujian atau suka disembah? 

Semua terdiam dan tahulah mereka kini apa yang diridai Allah. Masih penasaran, Saleh bertanya, "Apakah salah menyembah-Mu, Tuhan?" 


"Tidak salah. Tetapi, kesalahan terbesar adalah terlalu mementingkan diri. Kau taat sembahyang karena takut masuk neraka. Kau melupakan kehidupan anak-istrimu dan kaummu sehingga mereka tetap melarat." 


Kutipan  diatas saya ambil dari bahan Kamp Mahasiswa Regional Sumatera bagian Utara  2010, Ketika itu Pak Yonky Karman, membukakan kondisi sosial Indonesia. Cerita pendek yang ditulis oleh A.A Navis memang sebuah cerita fiksi tetapi  cukup menggambarkan kehidupan umat beragama di Indonesia.
Ketika membacanya muncul dalam pikiran saya kenapa orang-oarang Indonesia terkhusus orang Kristen tidak mau terlibat dalam aksi sosial karena mereka lebih mencintai surga atau takut masuk neraka ketimbang mencintai Tuhan melalui apa yang dituliskan dalam Alkitab. Orang Kristen khususnya kaum Injili selalu berlebihan menekankan aspek kewarganegaraan surga/rohani diatas kewarganegaraan bumi/ sekuler. Makanya tidak heran jika beberapa orang memahami kalau membantu orang miskin tetapi tidak sampai tahap pemberitaan Injil belum melakukan apa yang diajarkan Alkitab. Merasa bahwa melakukan pemberantasan kemiskinan, memperjuangkan keadilan dan memperjuangkan hak orang tertindas adalah tindakan sekuler.

Hal ini mengakibatkan orang  Kristen lebih memilih melakukan yang berbau rohani ketimbang melakukan tindakan yang dianggap sekuler, misalnya menginjili dianggap lebih/telah melakukan kehendak atau Misi/Tugas keKristenan daripada melakukan tindakan memberi orang miskin pakaian, membantu biaya sekolah anak yang tidak mampu.
Dan bahkan lebih parah lagi kebanyakan orang melakukan aksi sosial sebagai jalan untuk memberitakan Injil,    bukankah ini sebuah kebohongan tersembunyi. 
Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa perbuatan baik dapat menyelamatkan atau keselamatan yang akan datang dapat digantikan dengan keselamatan jasmani yang kini terjadi. Saya juga tidak sedang membuat argument bahwa Keselamatan diperoleh melalui perbuatan, atau amal. Itu sangat bertentangan dengan iman Kristen. (Efesus 2:8-9,Roma 1:16-17,Rom 3: 28, dst)
Tetapi sebagai orang Kristen seringkali kita mebuat dikotomi antara penginjilan dengan aksi sosial. Alkitab tidak pernah menuliskan kalau penginjilan (baca: hal rohani) lebih superior daripada aksi sosial (baca:sekuler). 
Tuhan mencela bangsa Israel karena lebih mengutamakan ibadah/perayaan agama  daripada memperhatikan orang yang tertindas, yatim dan janda-janda (Yesaya 1:10-17). Lebih lanjut Alkitab mencatat bahwa Yesus melakukan penyembuhan penyakit, mengusir roh jahat dan memberitakan Injil kerajaan Allah.
Yesuspun berkeliling di seluruh Galilea; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Allah serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan di antara bangsa itu. (Mat 4:23)

Konteks ayat diatas adalah  ketika Yesus memulai pelayanannya, setelah Yohnnes mempersiapkan jalan bagi Mesias dan Yesus dibaptis lalu dicobai. Lalu memulai pelayanannya seperti yang disebutkan diatas setelah pemanggilan murid-muridNya. Yang sangat menarik adalah ayat diatas kembali dicatat oleh matius.

Demikianlah Yesus berkeliling ke semua kota dan desa; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Sorga serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan.
Mat 9:35

Hal yang bisa kita lihat adalah dari Matius 4 sampai Matius 9, Yesus mengerjakan hal yang sama. Berkeliling……,Mengajar……,Memberitakan…..Melenyapkan.
Maka salah jika kita melihat bahwa apa yang dikerjakan Yesus hanya Memberitakan.  

John Stoot dalam bukunya  Christian Mission In The Modren World, menuliskan demikian:
Kita diutus kedunia, seperti Yesus, untuk melayani. Karena ini adalah ungkapan alamiah  dari kasih kita kepada sesama kita. Kita mengasihi. Kita pergi. Kita melayani. Dan dalam semua itu kita tidak memiliki (atau seharusnya tidak memilki) motif-motif lain. Benar, Injil tidak bisa terlihat jika kita hanya mengkhotbahkannya, dan kekurangan kredibilitas jika kita hanya tertarik akan jiwa-jiwa dan tidak peduli akan kesejahteraan tubuhnya, situasi, dan komunitas umat. Namun alasan penerimaan kita akan tanggung jawab sosial kita bukan terutama untuk membuat Injil terlihat atau kredibel, tetapi secara sederhana dan tidak rumit adalah karena belasa kasihan. Kasih tidak perlu membenarkan dirinya sendiri. Kasih menyatakan dirinya dalam pelayanan dimana pun dilihatnya perlu.

Lebih lanjut John Stoot mengatakan :
“Bagaimana mungkin kita mengklaim bahwa kita mengasihi (sesama kita) jikalau kita mengenal Injilnya tetapi tidak memberitakannya kepadanya?”
Kesimpulannya;  kita diutus ke dalam dunia untuk melayani sesama kita.
Tetapi Tuhan Yesus tidak hanya melayani secara rohani.  Kita melihat bagaimana Dia mewujudkan kasih-Nya kepada orang-orang dengan melayani mereka secara jasmani juga.  Dia menyembuhkan, menghiburkan, memberi makanan dlsb. 
Dan karena ‘sesama kita’ adalah manusia yang utuh, bukan roh tanpa tubuh, kita harus melayani mereka baik secara rohani maupun juga secara jasmani.
John Stott, sekali lagi, mengatakan
If we truly love our neighbour we shall not stop with evengelism.  Our neighbour is neither a bodyless soul that we should love only his soul, nor a soulless body that we should care for it’s welfare alone
(Jikalau kita sungguh-sungguh mengasihi sesama kita, kita tidak akan menginjili mereka saja.  ‘Sesama kita’ bukan roh tanpa jiwa, sehingga kita hanya mengasihi rohnya, atau tubuh tanpa roh , sehingga kita hanya memelihara tubuhnya)

Sebagian orang Kristen tidak peduli dengan kesalehan sosial dan mengaitkannya sebagai Injil Sosial (social gospel). Padahal, kesalehan sosial tak terpisah dari Injil Yesus. Injil harus utuh dalam kata (pewartaan ) dan laku (perbuatan). Jika injil diberitakan tanpa arogansi dan tanpa sikap superior, orang kan terharu dan bersyukur merayakan datangnya tahun rahmat Tuhan (Luk 4:19). Aksi sosial bukan alat kristenisasi, tetapi ungkapan solidaritas yang tulus. Sesuai dengan keutuhan Injil, gereja seharusnya tidak deficit keberanian untuk menghadapi all kinds of evil.
Gereja tidak hanya mengurus evil dosa rohani. Orientasi kesalehan vertical (individual) perlu dimbangi dengan kesalehan horizontal (sosial), agar orang tidak merasa lebih sebagai warga surge darpada warga bumi (baca : Indonesia).
Dalam hal lain kenapa orang kurang terlibat dalam aksi maupun tindakan sosial karena kekhawatiran bahwa upaya tersebut akan mengurangi makna pemberitaan injil; sebuah kekhawatiran yang sebetulnya tidak berdasar.

Pertanyaannya adalah  orang yang mana kita..??
Orang yang lebih mementingkan keselamatan jiwa atau orang yang lebih menekankan aksi sosial atau orang yang mengerjakan keduanya tanpa memandang mana yang lebih superior/utama??

Saya sangat menyarankan agar kita membaca salah satu jurnal  dari website SAAT Malang yang membahas KERAJAAN IMAM: TEOLOGI KERAJAAN ALLAH DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMURIDAN KRISTEN MASA KINI yang ditulis PERDIAN K. M. TUMANAN (silakan Search di google)

Berikut saya kutip 5 alinea terakhir :
Analis NT Wright pada buku populernya, Following Jesus: Biblical Reflections on Discipleship (sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh penerbit Waskita) terhadap lagu Imagine dari John Lenon. Dalam salah satu baitnya John Lenon menentang keras adanya surga dan mengatakan bahwa tempat itu tidak ada. Menurut Wright pandangan Lenon tersebut merupakan reaksi terhadap dugaan terhadap adanya surga dan neraka yang baginya hanyalah mitos yang diciptakan oleh kalangan mediocre (mandek karena suka berpuas diri) untuk membentuk moralitas kaum menengah yang nyaman dalam kekuasaan (status quo), sedangkan orang-orang seperti dia hidup di jurang ketidaknyamanan dan tanpa kuasa. Ia menambahkan bahwa semboyan kalangan mediocre itu adalah, “Karena satu saat nanti engkau akan pergi ke sana, lebih baik engkau bertindak baik-baik selama hidup-yang seringkali berarti, lebih baik engkau duduk, tutup mulut dan tidak usah bertingkah dan jadi orang yang terlalu banyak mengganggu apa yang sedang berlangsung.” Suka atau tidak, pandangan ini ada benarnya meskipun penulis seratus persen menolak definisi Lenon tersebut. Orang-orang Kristen saat ini tampaknya menjadi orang-orang mediocre yang cukup berpuas diri dengan jargon-jargon mendapat hidup kekal. Padahal kalau ditilik lebih jauh mereka tidak lebih dari sekadar orang-orang bermental escapist, yang suka melarikan diri dari banyaknya realitas hidup yang membutuhkan kehadiran mereka di sana sebagai warga kerajaan Allah. Gereja menjadi tempat persembunyian orang-orang bermental status quo, suara mereka sangat nyaring terdengar di seantero gereja, namun jika kembali dalam realitas hidup, mereka diam seribu bahasa. Pada akhirnya, pemuridan Kristen yang begitu mulia dan agung yang mencakup aspek-aspek menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Yesus (bdk. Mat. 16:24; Mrk. 8:34; Luk. 9:23; 14:27) disempitkan pada sebatas aktivitas untuk meyakinkan orang per orang terhadap “hidup kekal” di dunia nun jauh nan permai itu. Bagi penulis, sedikit banyak pandangan ini muncul karena konsep kerajaan Allah yang salah kaprah dan selalu ditafsirkan sebagai dunia yang nun jauh di sana dan merupakan tempat yang indah nan permai. Menurut penulis, sejalan dengan pembahasan sebelumnya, kerajaan Allah adalah sebuah realitas kosmik (bukan ilusi atau sesuatu yang abstrak dan nun jauh di sana) yang menyeluruh dan menunjuk kepada Suatu Pribadi bahwa Kristus adalah Sang Raja yang patut disembah oleh segala makhluk di jagad ini dan bahwa setiap murid-murid-Nya dipanggil untuk men-Tuhankan Dia dalam setiap aspek kehidupan mereka. Di dalam setiap aspek itu, realitas kosmik itu hadir dan melakukan penetrasi yang pada akhirnya menyadarkan setiap pribadi bahwa sungguh Kristus adalah Raja semesta ini. Dari makna ini, kita dibawa kepada suatu klarifikasi bahwa kerajaan Allah pertama-tama dan terutama berbicara tentang citacita eskatologis bahwa Kristus adalah Raja yang sudah dinobatkan dan setiap makhluk dipanggil untuk taat dan menyembah-Nya (Fil. 2:10-11;Kol. 1:15-18).
Pertanyaan aplikatif yang mungkin perlu direnungkan oleh rekan rekanku yang banyak terjun dalam Kelompok Tumbuh Bersama sekarang ini adalah, “Apa fokus dan tujuan dari pemuridan kita?” Saya takut
dalam Kelompok-kelompok Tumbuh Bersama (KTB) pun banyak ditekankan private religion, kekristenan yang pro-me (untuk saya, keluarga saya dan orang-orang terdekat saya “tanpa peduli” dengan apa yang terjadi dengan dunia di sekitar saya) dan kembali memilah-milah antara ranah
rohani dan ranah sekular. Kita sangat senang kala melihat anggota jemaat atau anggota KTB “berkepastian keselamatan” tapi “kurang senang” jika bertemu dengan gembel bau dan kelaparan yang tiap hari nongkrong di depan pagar rumah dan kost kita. Kita sangat bersemangat untuk berdoa bagi keselamatan keluarga dan sanak famili kita namun kurang sukacita dan bergairah untuk mendoakan peperangan rohani terkait dengan
perkembangan politik dunia dan huru-hara yang makin merajalela di seantero bumi ini.
Seorang murid Kristus yang sejati akan senantiasa melihat bahwa Kristus adalah satu-satunya Tuhan atas sejarah dan dunia (bukan hanya Tuhan untuk dirinya saja). Mata rohaninya akan senantiasa dipenuhi
dengan linangan air mata bukan hanya saat orang-orang yang dekat dengannya belum mengenal Yesus, tetapi juga saat melihat bahwa seisi dunia ini belum taat dan menyembah Yesus sebagai Raja mereka. Visi
hidupnya adalah seperti yang diungkapkan oleh rasul Paulus dalam Roma 1:5, “Dengan perantaraan-Nya kami menerima kasih karunia dan jabatan rasul untuk menuntun semua bangsa, supaya mereka percaya dan taat kepada nama-Nya.” Sekali lagi, pemuridan Kristen bukan sekadar “memindahkan seseorang dari neraka jahanam ke surga yang sejuk, berumput hijau, berair tenang nan nyaman cemerlang,” tetapi lebih dari pada itu, pemuridan Kristen bertujuan membentuk suatu umat Allah yang kudus dan taat dan setia mewartakan kepada dunia bahwa Yesus adalah Raja dan bahwa segala makhluk harus taat kepada-Nya. Setiap aspek kehidupan mereka akan terus memancarkan realitas tunggal kerajaan Allah bahwa Yesus
Kristus adalah Raja.



Sumber Bacaan:
Misi Umat Allah, Christopher J.H Wright hal 182
Bahan KMRSU VII 2010
Bahan Kamp Mahasiswa Nasional, 2000
Orang Nasrani Pandu Bangsamu, Samuel Tumanggor
Kerjaan Imam : Teologi Kerajaan Allah Dan Implikasinya Bagi Pemuridan Masa Kini, Perdian. 

Jumat, 22 Februari 2013

How To Find A Wife


The proverb says, “He who finds a wife finds a good thing and obtains favor from the Lord” (Prov. 18:22). But wisdom also tells us that one should seek this blessing from the Lord at the appropriate time and in a godly way.    
Many Christians enter the dating scene while they are still in their teens. This practice is fully endorsed, and even expected, by a society that holds a completely inadequate understanding of what it actually means for a boy to become a man, and for a man to be ready to marry. Sadly, the relationships formed by the practice of teenage dating often end in deep emotional pain, either due to the inability to resist engaging in immoral physical activity, or unmet expectations based on premature emotional commitments. These effects should not surprise us. The vast majority of people in this age group are not yet men and women, but rather boys and girls with full-grown bodies. These teens are simply not ready, emotionally, intellectually, or practically, to establish and maintain solid and proper relationships with the opposite sex.     
 
This article is not for boys with full-grown bodies, but rather for young men. More specifically, it is for Christian young men who have reached both the age and level of maturity where seeking a wife becomes appropriate. In my opinion, if you are much younger than twenty-five years old, you are probably not yet in this category. There are indeed exceptions—younger men who have worked hard and successfully established themselves as mature and prepared for marriage. I am also well aware that many men younger than twenty-five years old marry, and that these marriages often prove successful in the long term. My own marriage is, by God’s grace, one such example. But I still insist that as a general rule, your late teens and early twenties will be best spent shaping yourself into the man (and potential husband) God wants you to be, rather than actively dating or seeking a wife. I personally believe that marriage becomes appropriate for young women at an earlier age than it does for men. It is a well-known fact that men become intellectually and emotionally mature later than women do. Because of this fact, and because of the demanding leadership role men are expected to fill as husbands, they need more time prior to marriage to establish themselves as godly leaders and able providers.
 
So young men, if you want to know when and how to go about seeking the right young woman’s hand in marriage, the following points of counsel may be just what you need to hear.
 
1. If you want to find a wife, stop trying to attract one. Instead, dedicate yourself to actively and faithfully serving the Lord in the fellowship of your local church (Romans 12:10-13). Diligently pursue an increasing knowledge of the Bible (Col 1:10) so that you will be able to teach others (Col. 3:16). Be zealous for good deeds (Titus 2:14; 3:14) and for evangelism at home and abroad (Matt. 28:19). Be devoted to prayer (Col. 4:2). Love the brethren (1 Pet. 2:17; 4:8). Work hard at personal holiness and spiritual disciplines (1 Tim. 4:7-8; Heb. 12:14). Be diligent to keep yourself sexually pure (1 Thess. 4:3-8). Be sensible in the way you conduct yourself in all aspects of your life (Titus 2:6).
 
In case you’re thinking that I’m telling you to do these things because by doing them you will attract the right kind of young woman, you’re right—and you’re wrong. You’re right to think that a godly young woman would be attracted to the young man who consistently displays these Christian attributes and habits, but there’s more to it than that. The things I named in the above paragraph are required of you by Christ whether or not you ever marry. If you are not more interested in serving Him than you are in getting married, then you are not ready to be married. The characteristics and habits described above, when pursued primarily out of devotion to Christ, are essential qualities of every godly husband. To the degree that you fail to establish them in your own life before marriage, you are asking your future wife to suffer while you struggle to rid yourself of ineptness as a leader. To be well-prepared to love her, you must be well-prepared to lead her. Furthermore, if you are only maintaining the above habits and patterns of living for the purpose of attracting a girl, then the very kind of girl you hope to attract (i.e., one who is wise, insightful, discerning, spiritually minded, etc.) will see right through your charade. Even if she doesn’t, her watchful parents and/or her pastor will.
 
So stop seeking a wife and serve Christ with all your might. Trust the Lord to bring you the wife you’re praying for. When He does, you’ll know.
 
2. If you want to find a wife, make sure you’re ready to provide for her. Many youths waste their teenage years by dedicating themselves to the pursuit of leisure rather than developing a strong work ethic and marketable skills. Rather than learning how to work hard and think critically in ways that could eventually provide a decent living, they become skilled at playing video games, surfing the internet, watching TV, texting, and interacting on social media sites. In the mentally (and often physically) mushy condition these kinds of habitual amusements inevitably produce, these boys with full-grown bodies are far from being young men, and therefore, far from being prepared to care for a wife and family.
 
So how about you? Have you prepared your mind and body for a lifetime of hard work? Have you developed the necessary skills and/or completed the necessary education to compete in today’s job market? If so, have you landed the kind of job that will pay for housing expenses, vehicle expenses, food, clothing, medical bills and insurance, utilities, and so forth? Have you learned how to establish a budget and regulate your finances so that you will be able to live within your means? Most importantly, since no job is guaranteed to be secure, have you developed the “provider” mindset that will motivate you to work even multiple jobs if necessary to provide for your family without requiring your wife to work outside the home?
 
There may be unavoidable times after you marry that you are “in-between jobs,” but being unemployed (or “under-employed”) is no way to enter into married life. Newlywed couples may choose to both work at first, but marriage is not ultimately for the purpose of making money. It is at least in large part for the purpose of producing godly children. This requires a mother at home, not out in the work force. So if you are not ready to provide for a wife (and soon, for children), then you are not yet ready to marry (2 Thess. 3:10; 1 Tim. 5:8).
 
In some special cases, where a young man chooses to dedicate his life to serving the Lord as a missionary, evangelist, or some other form of Christian ministry, it may not always be possible or best for him to secure a full-time job. He may need to simply trust the Lord to provide (Matt. 10:9-10). I am not saying that such a young man should not marry, but I would offer a few cautions: First, be sure through much prayer and the counsel of godly leaders and mentors that your chosen course is indeed the Lord’s will. If you are sure it is, then seek carefully to discern whether or not marriage is the Lord’s will for you (1 Cor. 7:32-35). Second, if you are certain that the Lord would have you marry, make sure that the young woman you hope to marry fully understands what your intentions are, and the kind of life she will be committing herself to by marrying you. Third, make sure her parents are in support of the relationship, being fully aware of your intentions for ministry. Fourth, be prepared to work as hard as necessary in a “regular” job if the Lord should ever make it plain that He intends to support you in that way, and not fully support you through your chosen ministry. Trusting the Lord for your income through ministry in no way relieves you of your obligation as a husband to provide for your wife and children.      
 
3. If you are ready to find a wife, find a friend first. Marriages based only on romance and/or physical attraction are far weaker than ones based on true friendship. The love that flows through the bond of friendship is pleasant and lasting, whereas the love that is motivated only by romance and physical beauty is often strained, dependent on factors that will inevitably fade away. Therefore it is both unreasonable and unwise for you to expect a young woman to enter into a romantic relationship with you before getting to know you well as a friend in a broader social context.
 
Are you interested in a young woman? Before even approaching the subject of a one-on-one relationship with her, spend a significant amount of time with her in the context of larger social gatherings, preferably with other Christians. If you are handling your initial interest in her properly, other people in your social circle shouldn’t even notice that it goes beyond friendship. Don’t single her out in obvious ways as the special object of your attention, and don’t allow yourself to pair up with her exclusively when in group settings. Both of you should want to know what the other is really like apart from any obvious or focused interest in each other. Only in this way can she get to know the real you, and you the real her, without allowing romance and physical attraction to cloud the issue or distract others in unhelpful ways.
 
4. If you think you have found a potential wife, approach her through her father. If you believe the time may be right to more seriously pursue your affections toward a particular young woman, first ask your own father for his counsel.[1] Also seek your pastor’s counsel. Then, assuming you have not been advised otherwise up to this point, approach the young woman’s father directly and ask for his permission to pursue the relationship further. Do thisbefore mentioning your interest to her. Her father may choose to talk with her himself before responding to your expression of interest, and if he finds that she is not interested in the kind of relationship you are thinking of, he may be able to help both of you avoid an awkward and painful encounter.  
 
This step of approaching a girl’s father before approaching her is widely disregarded in our society, being viewed as an archaic and unnecessary social convention. For the Christian young man, however, it is much more significant than that. Remember that ever since this girl was born, her father has been the most important man in her life—her most zealous protector and the one charged by God to carefully steer her in the path of wisdom. Be prepared to explain to him why you think you are ready to seek his daughter’s affection, and perhaps eventually take her out of his family. Furthermore, be prepared to rethink things, or to work hard to prove yourself in certain ways if he is unconvinced when you initially approach him. Do not approach him with the assumption that he will approve your request, or that he has the obligation to approve just because the two of you are attracted to each other. I am not a proponent of arranged marriages, but parents should be reasonably involved in helping their sons and daughters make one of the most important decisions in their lives. Godly parents will not be unreasonably restrictive, nor will they forbid the relationship for carnal or petty reasons. But they can often see, and should be invited to point out, warning signs that are obscured to the less mature eye, or the eye that is clouded to near blindness by infatuation. For this same reason, I strongly encourage young couples to seek premarital counseling with an experienced pastor before becoming engaged. I would even advise parents to insist on pre-engagement counseling before giving their blessing to the proposed union.
 
Approaching the young woman through her father is not merely a way of showing him respect (although that is one important reason for doing so). Obtaining her father’s blessing and counsel is one way of discerning God’s will. Even if her father is an unbelieving and unreasonable man—even if he unreasonably refuses your request—the Lord can still use him to make His will for your life known.[2]
 
What if Her Father Approves? Then What?
It is beyond the scope of this article to describe what the relationship should look like in between the point where you receive her father’s blessing, and the point where the two of you actually marry. There are many differing opinions about what this “courtship” period should look like, when engagement should occur, how long the engagement period should be, how much time the two of you should spend together, and in what contexts that time should be spent. I would simply encourage you to work out those details with her parents and yours. Always remember, however, that until her father walks her down the aisle and gives her to you in marriage—until the two of you are pronounced husband and wife—he continues to occupy the role of “head” over her. He retains the authority and responsibility to provide for her well-being. Respect his position and role just the way you will want to be respected when a young man pursues your daughter.
 
Therefore be careful how you walk, not as unwise men but as wise,
making the most of your time, because the days are evil. So then do not be foolish,
but understand what the will of the Lord is.
 
Eph. 5:15-16
 
Who among you is wise and understanding?
Let him show by his good behavior his deeds in the gentleness of wisdom.
 
James 3:13
 


[1] In cases where a young Christian man has an ungodly or absentee father, this may not be possible or productive. 
[2] Divorce often complicates a young man’s responsibility. If a young woman is under the care of a single mother as a result of divorce, then it may be best to approach her mother first. Her father should still be contacted if possible, but if her mother is her primary caregiver, she should be the initial point of contact. Many godly single mothers will then choose to seek the counsel of a trusted pastor, or request that the young man approach a pastor directly as he ordinarily would the girl’s father, before giving her consent.

Dikutip Dari Daryl Wingerd

Selasa, 19 Februari 2013

Four Model Womanhood and Manhood


Womanhood
You can plot models womanhood along two axes: ( 1) the axis of supporting and resisting male leadership in marriage and the churh (Ephesians 5:22-24); 1 Timothy 2:11-15) and (2) the axis of fearfulness and fearlessness (1 Peter 3:1-6). Godly womanhood involves both welcoming male leadership and fearlessness. It is appropriate for women to take initiative, especially where male leadership is absent. But women can get womanhood get wrong by contantly sliding down the leadership axis so they always resist or replace male leadership (‘stident woman’), or (2)sliding down the fear axis into fearfulness (‘timid woman’), or (3) both (‘Manipulate woman).



Where do you think you are on both axes?
How could you be more supportive of male leadership?
How could you be more fearless in your service?

Manhood
You can plot models manhood along two axes: ( 1) the axis of proactivity and passivity (2) the axis of sacrificial service and selfishness. Godly manhood involves both proactivity and serving. In other words, taking the initiative to serve in the home, in the church and in the wider community. We can get manhood wrong by (1) sliding down the proactivity-passivity axis into passivity (‘new mwn’), or (2) sliding down the service-selfishness axis into selfishness (‘macho man’), or (3) both (‘adolescent man’)


Where do you think you are on both axes?
How could you be more proactive?
How could you be more serving?

Dikutip dari Tim Challies


Kamis, 14 Februari 2013

My Soul Waits


For decades now Marva Dawn’s life has been shaped by the Psalms; as he writes out her Psalm-shaped experiences in prayer, we realize freshly and personally what a virgorous and reality-tested world prayer the Psalms provide us.
Eugene H. Peterson 


Kalimat diatas adalah tanggapan Eugene H. Peterson terhadap buku ini, Marva Dawn bukan hanya dikenal sebagai teolog tetapi juga penulis dan pengajar dalam bidang etika maupun spitual di Regent Collage.
Banyak pastur maupun gembala/pendeta menganguminya karena memang kehidupan spiritual dan buku-buku yang dia tulis sangat berkualitas. Tidak jarang pemikirannya dikhotbahkan oleh pendeta. Pertama kali membaca buku ini, saya sangat tertarik dengan pemaparan Dawn tentang pergumulan hidup dan bagaimana dia mengatasinya dalam doa-doanya.


Benar kata Eugene Peterson, Marva Dawn menyajikan buku pengalaman doa yang sangat tajam, itu terlihat dari refleksi/meditasi yang dia berikan dalam buku ini. Menjadikan kitab Psalm/Mazmur sebagai doa dalam meditasi sangat baik diterapkan dalam kehidupan orang Kristen karena memang buku Mazmur sebagian besar adalah ungkapan peyembahan maupun ratapan/lament.  Satu hal yang perlu kita ingat bahwa meditasi merupakan sesuatu yang hilang dalam kehidupan orang Kristen saat ini. Tiap bab dari buku ini memberikan perenungan yang cukup dalam, mengajak kita untuk mengingat kasih setia (chesed) Tuhan dalam setiap pergumulan hidup.
Awalnya saya tidak pernah berpikir bisa membaca buku yang Marva Dawn tulis karena buku-bukunya belum satupun yang ditejemahkan kedalam bahasa Indonesia. Tetapi syukur saya bisa mendapatkannya dari PKK saya, walau sedikit repot harus membacanya sambil membuka kamus. Mudah-mudahan buku-buku Marva Dawn bisa dterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sehingga menjadi berkat terkhusus buat kehidupan spiritual orang Kristen di Indonesia. 

"An Important goal for spritual growth is to become so directed toward the LORD that every situation is immediately turned over Him. If we could learn instantlu to refer whatever happens to His Wisdom and guidance, we could faithfully practice His presence ini every moment of our lives.

How can we develop such a habbit? We are immensely assited if we establish daily discipline of prayer and bible study and meditation. The more throghly we enfold ourselves n God's presence in our devotional times, the more reality He will be apparent to us in the other moment of the day.."
(My Soul waits, page 40)

Pemimpin adalah Pelayan


Memimpin adalah melayani,

Namun melayani belum tentu memimpin.

Yang tidak mau melayani,

Tidak boleh dan tidak berhak memimpin.

Pemimpin adalah pelayan,

Yang tidak rela menjadi pelayan,

Tidak layak menjadi pemimpin.

Senin, 11 Februari 2013

I,m Lonely, LORD-How Long?


                                   How long, LORD? Will you forget me forever?
                                          How long will you hide your face from me?
                                   How long must I wrestle with my thoughts
                                           and day after day have sorrow in my heart?
                                           How long will my enemy triumph over me?
                                   Look on me and answer, LORD my God.
                                           Give light to my eyes, or I will sleep in death,
                                    and my enemy will say, "I have overcome him,"
                                           and my foes will rejoice when I fall.
                                   But I trust in your unfailing love;
                                           my heart rejoices in your salvation.
                                   I will sing the LORD's praise,
                                          for he has been good to me.
                                                                              
                                                                        PSALM 13

Merenungkan Janji-Janji Allah

Perhatian yang tetap dan konstan pada janji-janji Allah dan keyakinan yang teguh kepada-Nya akan mencegah kecemasan dan kekhwatiran tentang pergumulan hidup. Keyakinan itu akan membuat pikiran tenang dan sabar dalam memnghadapi setiap perubahan dan mendukung serta mengangkat roh kita yang hampir tenggelam dalam berbagai persoalan hidup… 
Orang Kristen membuang pengharapan mereka yang paling teguh dalam ketidakpercayaan mereka terhadap dan dengan melupakan janji-janji Allah. Sebab tidak ada hal yang begitu ekstrem karena selalu ada janji yang sesuai untuk keadaan itu dan hal itu tersedia dengan sangat berlimpah untuk memberi kelegaan kepada kita. Pengenalam yang mendalam akan janji-janji Allah akan sangat bemanfaat dalam doa. Dengan penghiburan ini, orang Kristen dapat mengarahkan dirinya kepada Allah dalam Kristus ketika ia memikirkan jaminan Allah yang diulang bahwa doanya akan didengar! Dengan kepuasan yang begitu besar ia dapat meyampaiakan beberapa keinginan hatinya ketika merenungkan perikop Alkitab yang menyatakan janji kemurahan Allah yang besar! Dan, dengan jiwa bersemangat dan iman yang kuat ia bisa meneguhkan doa-doanya dengan memohon beberapa janji-Nya yang indah sesuai dengan pergumulannya. (dikutip dari KG, JI Packer hal 137) 

Pergumulan merupakan bagian yang tidak bisa lepas dari hidup seseorang, namun yang membedakan seseorang dengan yang lainnya adalah bagiamana respon mereka terhadap pergumulan itu. Kutipan diatas adalah hal yang sering kali dilupakan oleh orang Kristen ketika dalam masa-masa sulit, sehingga mereka bukan mendekat tetapi menjauh dari Tuhan. Merenungkan janji-janji Allah akan membuat kita kuat ketika menghadapi pegumulan.