Minggu, 24 Februari 2013

Robohnya Kesalehan Sosial


Dalam cerita pendek AA Navis Robohnya Surau Kami (1955), surau metafora kesalehan. Yang diratapi bukan bangunan fisik tetapi "suatu kesucian yang bakal roboh". Kesucian yang dimaksudnya bukan kesalehan individual yang ditandai dengan kesalehan ritual agama melainkan kesalehan sosial. 

Alkisah, Tuhan di akhirat sedang memeriksa antrean panjang orang-orang yang sudah meninggal. Giliran Saleh diperiksa. Ia tersenyum merasa yakin masuk surga. Ketika ditanya apa saja yang dilakukannya selama hidup, ia menjawab dengan lancar. Menyembah Tuhan dan menyebut nama-Nya, membaca kitab suci, memiliki pengetahuan iman, menjalankan rukun agama, tidak berbuat dosa. 

Ketika ditanya lagi apa saja yang dilakukannya selain itu, Saleh merasa ada sesuatu yang tidak beres, namun tak ada lagi yang bisa dikatakannya. Jatuhlah vonis untuk dirinya. Dinerakakan. Dan, ia terheran-heran. Lebih mengherankan lagi, ketika orang lain yang lebih saleh dari dirinya ternyata bernasib sama. 

Tak pelak terjadi kasak-kusuk di antara orang-orang yang dinerakakan itu. Mereka tidak puas dengan vonis itu. Standar penghakiman Tuhan dianggap tidak jelas. Lalu, mereka memberanikan diri menghadap Tuhan untuk minta penjelasan. 

"Di mana kalian tinggal?" 

"Indonesia." 

"Negeri yang tanahnya subur, sampai tanaman tumbuh tanpa ditanam? Negeri yang tambangnya kaya raya itu?" 

"Benar, Tuhan." 

"Tetapi, penduduknya banyak melarat? Negeri yang selalu kacau karena kalian suka berkelahi, sementara kekayaan alam kalian dikeruk orang lain?" 

"Benar, Tuhan. Kami tidak peduli dengan kekayaan alam kami. Yang penting, kami menyembah dan memuji-Mu." 

"Engkau rela tetap melarat? Juga anak cucumu ikut melarat?" 

"Tidak apa-apa, Tuhan, asal mereka taat beragama." 

"Meski ajaran agama itu tidak masuk di hati?" 

"Masuk di hati, Tuhan." 

"Kalau masuk di hati, mengapa kalian membiarkan diri tetap melarat sehingga anak cucu kalian teraniaya, kekayaan alam diambil orang lain untuk anak cucu mereka? Mengapa kalian lebih suka saling menipu dan memeras? Aku beri kalian negeri yang kaya, namun kalian malas dan tidak suka bekerja keras. Kalian lebih suka beribadat. Kalian kira Aku mabuk pujian atau suka disembah? 

Semua terdiam dan tahulah mereka kini apa yang diridai Allah. Masih penasaran, Saleh bertanya, "Apakah salah menyembah-Mu, Tuhan?" 


"Tidak salah. Tetapi, kesalahan terbesar adalah terlalu mementingkan diri. Kau taat sembahyang karena takut masuk neraka. Kau melupakan kehidupan anak-istrimu dan kaummu sehingga mereka tetap melarat." 


Kutipan  diatas saya ambil dari bahan Kamp Mahasiswa Regional Sumatera bagian Utara  2010, Ketika itu Pak Yonky Karman, membukakan kondisi sosial Indonesia. Cerita pendek yang ditulis oleh A.A Navis memang sebuah cerita fiksi tetapi  cukup menggambarkan kehidupan umat beragama di Indonesia.
Ketika membacanya muncul dalam pikiran saya kenapa orang-oarang Indonesia terkhusus orang Kristen tidak mau terlibat dalam aksi sosial karena mereka lebih mencintai surga atau takut masuk neraka ketimbang mencintai Tuhan melalui apa yang dituliskan dalam Alkitab. Orang Kristen khususnya kaum Injili selalu berlebihan menekankan aspek kewarganegaraan surga/rohani diatas kewarganegaraan bumi/ sekuler. Makanya tidak heran jika beberapa orang memahami kalau membantu orang miskin tetapi tidak sampai tahap pemberitaan Injil belum melakukan apa yang diajarkan Alkitab. Merasa bahwa melakukan pemberantasan kemiskinan, memperjuangkan keadilan dan memperjuangkan hak orang tertindas adalah tindakan sekuler.

Hal ini mengakibatkan orang  Kristen lebih memilih melakukan yang berbau rohani ketimbang melakukan tindakan yang dianggap sekuler, misalnya menginjili dianggap lebih/telah melakukan kehendak atau Misi/Tugas keKristenan daripada melakukan tindakan memberi orang miskin pakaian, membantu biaya sekolah anak yang tidak mampu.
Dan bahkan lebih parah lagi kebanyakan orang melakukan aksi sosial sebagai jalan untuk memberitakan Injil,    bukankah ini sebuah kebohongan tersembunyi. 
Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa perbuatan baik dapat menyelamatkan atau keselamatan yang akan datang dapat digantikan dengan keselamatan jasmani yang kini terjadi. Saya juga tidak sedang membuat argument bahwa Keselamatan diperoleh melalui perbuatan, atau amal. Itu sangat bertentangan dengan iman Kristen. (Efesus 2:8-9,Roma 1:16-17,Rom 3: 28, dst)
Tetapi sebagai orang Kristen seringkali kita mebuat dikotomi antara penginjilan dengan aksi sosial. Alkitab tidak pernah menuliskan kalau penginjilan (baca: hal rohani) lebih superior daripada aksi sosial (baca:sekuler). 
Tuhan mencela bangsa Israel karena lebih mengutamakan ibadah/perayaan agama  daripada memperhatikan orang yang tertindas, yatim dan janda-janda (Yesaya 1:10-17). Lebih lanjut Alkitab mencatat bahwa Yesus melakukan penyembuhan penyakit, mengusir roh jahat dan memberitakan Injil kerajaan Allah.
Yesuspun berkeliling di seluruh Galilea; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Allah serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan di antara bangsa itu. (Mat 4:23)

Konteks ayat diatas adalah  ketika Yesus memulai pelayanannya, setelah Yohnnes mempersiapkan jalan bagi Mesias dan Yesus dibaptis lalu dicobai. Lalu memulai pelayanannya seperti yang disebutkan diatas setelah pemanggilan murid-muridNya. Yang sangat menarik adalah ayat diatas kembali dicatat oleh matius.

Demikianlah Yesus berkeliling ke semua kota dan desa; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Sorga serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan.
Mat 9:35

Hal yang bisa kita lihat adalah dari Matius 4 sampai Matius 9, Yesus mengerjakan hal yang sama. Berkeliling……,Mengajar……,Memberitakan…..Melenyapkan.
Maka salah jika kita melihat bahwa apa yang dikerjakan Yesus hanya Memberitakan.  

John Stoot dalam bukunya  Christian Mission In The Modren World, menuliskan demikian:
Kita diutus kedunia, seperti Yesus, untuk melayani. Karena ini adalah ungkapan alamiah  dari kasih kita kepada sesama kita. Kita mengasihi. Kita pergi. Kita melayani. Dan dalam semua itu kita tidak memiliki (atau seharusnya tidak memilki) motif-motif lain. Benar, Injil tidak bisa terlihat jika kita hanya mengkhotbahkannya, dan kekurangan kredibilitas jika kita hanya tertarik akan jiwa-jiwa dan tidak peduli akan kesejahteraan tubuhnya, situasi, dan komunitas umat. Namun alasan penerimaan kita akan tanggung jawab sosial kita bukan terutama untuk membuat Injil terlihat atau kredibel, tetapi secara sederhana dan tidak rumit adalah karena belasa kasihan. Kasih tidak perlu membenarkan dirinya sendiri. Kasih menyatakan dirinya dalam pelayanan dimana pun dilihatnya perlu.

Lebih lanjut John Stoot mengatakan :
“Bagaimana mungkin kita mengklaim bahwa kita mengasihi (sesama kita) jikalau kita mengenal Injilnya tetapi tidak memberitakannya kepadanya?”
Kesimpulannya;  kita diutus ke dalam dunia untuk melayani sesama kita.
Tetapi Tuhan Yesus tidak hanya melayani secara rohani.  Kita melihat bagaimana Dia mewujudkan kasih-Nya kepada orang-orang dengan melayani mereka secara jasmani juga.  Dia menyembuhkan, menghiburkan, memberi makanan dlsb. 
Dan karena ‘sesama kita’ adalah manusia yang utuh, bukan roh tanpa tubuh, kita harus melayani mereka baik secara rohani maupun juga secara jasmani.
John Stott, sekali lagi, mengatakan
If we truly love our neighbour we shall not stop with evengelism.  Our neighbour is neither a bodyless soul that we should love only his soul, nor a soulless body that we should care for it’s welfare alone
(Jikalau kita sungguh-sungguh mengasihi sesama kita, kita tidak akan menginjili mereka saja.  ‘Sesama kita’ bukan roh tanpa jiwa, sehingga kita hanya mengasihi rohnya, atau tubuh tanpa roh , sehingga kita hanya memelihara tubuhnya)

Sebagian orang Kristen tidak peduli dengan kesalehan sosial dan mengaitkannya sebagai Injil Sosial (social gospel). Padahal, kesalehan sosial tak terpisah dari Injil Yesus. Injil harus utuh dalam kata (pewartaan ) dan laku (perbuatan). Jika injil diberitakan tanpa arogansi dan tanpa sikap superior, orang kan terharu dan bersyukur merayakan datangnya tahun rahmat Tuhan (Luk 4:19). Aksi sosial bukan alat kristenisasi, tetapi ungkapan solidaritas yang tulus. Sesuai dengan keutuhan Injil, gereja seharusnya tidak deficit keberanian untuk menghadapi all kinds of evil.
Gereja tidak hanya mengurus evil dosa rohani. Orientasi kesalehan vertical (individual) perlu dimbangi dengan kesalehan horizontal (sosial), agar orang tidak merasa lebih sebagai warga surge darpada warga bumi (baca : Indonesia).
Dalam hal lain kenapa orang kurang terlibat dalam aksi maupun tindakan sosial karena kekhawatiran bahwa upaya tersebut akan mengurangi makna pemberitaan injil; sebuah kekhawatiran yang sebetulnya tidak berdasar.

Pertanyaannya adalah  orang yang mana kita..??
Orang yang lebih mementingkan keselamatan jiwa atau orang yang lebih menekankan aksi sosial atau orang yang mengerjakan keduanya tanpa memandang mana yang lebih superior/utama??

Saya sangat menyarankan agar kita membaca salah satu jurnal  dari website SAAT Malang yang membahas KERAJAAN IMAM: TEOLOGI KERAJAAN ALLAH DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMURIDAN KRISTEN MASA KINI yang ditulis PERDIAN K. M. TUMANAN (silakan Search di google)

Berikut saya kutip 5 alinea terakhir :
Analis NT Wright pada buku populernya, Following Jesus: Biblical Reflections on Discipleship (sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh penerbit Waskita) terhadap lagu Imagine dari John Lenon. Dalam salah satu baitnya John Lenon menentang keras adanya surga dan mengatakan bahwa tempat itu tidak ada. Menurut Wright pandangan Lenon tersebut merupakan reaksi terhadap dugaan terhadap adanya surga dan neraka yang baginya hanyalah mitos yang diciptakan oleh kalangan mediocre (mandek karena suka berpuas diri) untuk membentuk moralitas kaum menengah yang nyaman dalam kekuasaan (status quo), sedangkan orang-orang seperti dia hidup di jurang ketidaknyamanan dan tanpa kuasa. Ia menambahkan bahwa semboyan kalangan mediocre itu adalah, “Karena satu saat nanti engkau akan pergi ke sana, lebih baik engkau bertindak baik-baik selama hidup-yang seringkali berarti, lebih baik engkau duduk, tutup mulut dan tidak usah bertingkah dan jadi orang yang terlalu banyak mengganggu apa yang sedang berlangsung.” Suka atau tidak, pandangan ini ada benarnya meskipun penulis seratus persen menolak definisi Lenon tersebut. Orang-orang Kristen saat ini tampaknya menjadi orang-orang mediocre yang cukup berpuas diri dengan jargon-jargon mendapat hidup kekal. Padahal kalau ditilik lebih jauh mereka tidak lebih dari sekadar orang-orang bermental escapist, yang suka melarikan diri dari banyaknya realitas hidup yang membutuhkan kehadiran mereka di sana sebagai warga kerajaan Allah. Gereja menjadi tempat persembunyian orang-orang bermental status quo, suara mereka sangat nyaring terdengar di seantero gereja, namun jika kembali dalam realitas hidup, mereka diam seribu bahasa. Pada akhirnya, pemuridan Kristen yang begitu mulia dan agung yang mencakup aspek-aspek menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Yesus (bdk. Mat. 16:24; Mrk. 8:34; Luk. 9:23; 14:27) disempitkan pada sebatas aktivitas untuk meyakinkan orang per orang terhadap “hidup kekal” di dunia nun jauh nan permai itu. Bagi penulis, sedikit banyak pandangan ini muncul karena konsep kerajaan Allah yang salah kaprah dan selalu ditafsirkan sebagai dunia yang nun jauh di sana dan merupakan tempat yang indah nan permai. Menurut penulis, sejalan dengan pembahasan sebelumnya, kerajaan Allah adalah sebuah realitas kosmik (bukan ilusi atau sesuatu yang abstrak dan nun jauh di sana) yang menyeluruh dan menunjuk kepada Suatu Pribadi bahwa Kristus adalah Sang Raja yang patut disembah oleh segala makhluk di jagad ini dan bahwa setiap murid-murid-Nya dipanggil untuk men-Tuhankan Dia dalam setiap aspek kehidupan mereka. Di dalam setiap aspek itu, realitas kosmik itu hadir dan melakukan penetrasi yang pada akhirnya menyadarkan setiap pribadi bahwa sungguh Kristus adalah Raja semesta ini. Dari makna ini, kita dibawa kepada suatu klarifikasi bahwa kerajaan Allah pertama-tama dan terutama berbicara tentang citacita eskatologis bahwa Kristus adalah Raja yang sudah dinobatkan dan setiap makhluk dipanggil untuk taat dan menyembah-Nya (Fil. 2:10-11;Kol. 1:15-18).
Pertanyaan aplikatif yang mungkin perlu direnungkan oleh rekan rekanku yang banyak terjun dalam Kelompok Tumbuh Bersama sekarang ini adalah, “Apa fokus dan tujuan dari pemuridan kita?” Saya takut
dalam Kelompok-kelompok Tumbuh Bersama (KTB) pun banyak ditekankan private religion, kekristenan yang pro-me (untuk saya, keluarga saya dan orang-orang terdekat saya “tanpa peduli” dengan apa yang terjadi dengan dunia di sekitar saya) dan kembali memilah-milah antara ranah
rohani dan ranah sekular. Kita sangat senang kala melihat anggota jemaat atau anggota KTB “berkepastian keselamatan” tapi “kurang senang” jika bertemu dengan gembel bau dan kelaparan yang tiap hari nongkrong di depan pagar rumah dan kost kita. Kita sangat bersemangat untuk berdoa bagi keselamatan keluarga dan sanak famili kita namun kurang sukacita dan bergairah untuk mendoakan peperangan rohani terkait dengan
perkembangan politik dunia dan huru-hara yang makin merajalela di seantero bumi ini.
Seorang murid Kristus yang sejati akan senantiasa melihat bahwa Kristus adalah satu-satunya Tuhan atas sejarah dan dunia (bukan hanya Tuhan untuk dirinya saja). Mata rohaninya akan senantiasa dipenuhi
dengan linangan air mata bukan hanya saat orang-orang yang dekat dengannya belum mengenal Yesus, tetapi juga saat melihat bahwa seisi dunia ini belum taat dan menyembah Yesus sebagai Raja mereka. Visi
hidupnya adalah seperti yang diungkapkan oleh rasul Paulus dalam Roma 1:5, “Dengan perantaraan-Nya kami menerima kasih karunia dan jabatan rasul untuk menuntun semua bangsa, supaya mereka percaya dan taat kepada nama-Nya.” Sekali lagi, pemuridan Kristen bukan sekadar “memindahkan seseorang dari neraka jahanam ke surga yang sejuk, berumput hijau, berair tenang nan nyaman cemerlang,” tetapi lebih dari pada itu, pemuridan Kristen bertujuan membentuk suatu umat Allah yang kudus dan taat dan setia mewartakan kepada dunia bahwa Yesus adalah Raja dan bahwa segala makhluk harus taat kepada-Nya. Setiap aspek kehidupan mereka akan terus memancarkan realitas tunggal kerajaan Allah bahwa Yesus
Kristus adalah Raja.



Sumber Bacaan:
Misi Umat Allah, Christopher J.H Wright hal 182
Bahan KMRSU VII 2010
Bahan Kamp Mahasiswa Nasional, 2000
Orang Nasrani Pandu Bangsamu, Samuel Tumanggor
Kerjaan Imam : Teologi Kerajaan Allah Dan Implikasinya Bagi Pemuridan Masa Kini, Perdian. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar