Minggu, 31 Maret 2013

Merefleksikan Perjalanan Hidup (24 Tahun)



Aku dilahirkan di  sebuah desa kecil. Desa Sipolha Horisan, Kecamatan P. Sidamanik Kabupaten Simalungun pada tanggal 1 April 1989. Desa kecil yang terletak dipinggiran danau toba.  
Pada waktu itu desaku belum seperti sekarang ini yang telah menjadi sebuah kelurahan, walau menurutku masih belum layak menjadi kelurahan. Kata mamaku sebelum ada jalan aspal kekampungku orang-orang harus berjalan sekitar satu kilo meter ke jalan yang bisa dilalui oleh kendaraan. Pasar Jepang demikian orang-orang menyebutnya. Jalan ini didaerah yang lebih tinggi dari kampungku jadi orang-orang harus mendaki terlebih dahulu  kalau mau bepergian kekota.

Hidup dalam Keluarga Yang Tidak Harmonis
Orang tuaku telah lama menantikan seorang anak, hingga sepuluh tahun baru kakakq lahir. Masih ingat cerita mamaku, kalau ayahku pernah ingin menikah lagi pada waktu kakak belum lahir. Diusir, dihina, dan dipukul adalah hal yang biasa bagi ibuq sepanjang sepuluh tahun itu. Hidup dalam tekanan batin, mungkin adalah hal yang tepat menggambarkan keadaan ibu. Kehadiran kakak bukan membuat keluarga makin baik tetapi sebaliknya. Perilaku ayahku tetap sama, tetap seorang yang suka memukul istri, mabuk dan bejudi. Mungkin sudah mendarah daging karena bukan hanya ayah tetapi saudaranya yang lain juga sama. Ayahku anak paling kecil dan dari  abang-abangnya hanya satu orang yang cukup baik berkeluarga. Perhiasan simpanan ibu habis untuk modal ayahku berjudi, belum lagi ayahku orang yang malas bekerja. Ayahku dulu orangnya pintar tetapi sepanjang menjalani pendidikan ia tidak pernah dibiayai orang tuanya. Dari cerita namboruku, sepanjang mejalani SMA ayah harus bekerja sendiri dan kelas diawal memasuki kelas 3 SMA ia harus berhenti karena tidak ada biaya. Pernah sekali ayahku mencoba meminta kepada oppungku tetapi ia malah disuruh untuk tidak sekolah. Padahal oppungku saat itu bekerja sebagai penjaga sekolah tetapi ia suka berjudi dan tidak peduli sama pendidikan anak-anaknya. Mungkin ini yang membuat ayahku juga berpikiran seperti itu, setiap aku minta uang untuk sekolah ayahku bilang tidak usa sekolah, aku aja juga gak pernah sekolah.

Lahir Disebuah Gubuk
Aku lahir dalam sebuah gubuk kecil yang dibuat ibu, karena saat itu ibu diusir dari tempat oppung. Gubuk kecil yang terbuat dari bambu dan dananya hasil tabungan mamaku. Saat aku dalam kandungan, ibuku bekerja keras sebagai upahan diladang orang lain sambil mengendong kakak yang masih kecil untuk mencukupi kebutuhan.
Diusia 3 bulan aku masih ingat, aku dibawa ke tempat oppung (ibu mama) karena ibu bekelahi dengan ayahq. Sampai usia 10 bulan aku dibesarkan oppung di Pamingke, Rantau Parapat. Ayahq datang menjemput kami dan berjanji akan menjadi orang yang lebih bertanggung jawab dalam keluarga.
Ayah dan ibuq kembali ke kampung (Sipolha)  menata hidup disana sampai sekarang. Walau ayah tetap saja tidak berubah, pertengkaran dalam keluarga masih tetap ada dan semua orang tahu kondisi keluarga kami yang seperti itu. Aku diberi nama Doly sampai umur 2 tahun, awalnya adalah sebuah panggilan saja karena pada usia itu aku belum dibaptis. Ayahq orang yang jarang kegereja dan baru usia 3 tahun aku dibaptis. Dan mau memasuki SD kami baru memilki tempat tinggal yang lebih sederhana, punya listrik walau dari tetangga.
Sampai usia 6 tahun kalau orang bertanya amaku ‘mau jadi apa?’ Aku selalu bilang mau jadi Pendeta. Inilah impianq waktu kecil. Mungkin ini alsan aku sangat suka belajar atau baca buku yang berhubungan dengan teologia walau niat untuk menjadi sesorang pendeta tidak ada lagi.

Masa SD dan SMP
Aku melanjutkan pendidikan dasar di SD Inpres 095135 yang ada dikampungku, aku selalu menjadi bintang kelas. Masih bisa kuingat ketika aku menjadi salah satu utusan dari sekolah untuk mengikuti Cerdas Cermat tingkat kecamatan. Ini tentunya membuat SD kami dikenal karena waktu itu kami yang menjadi juara satu.
Walau hidup dalam kondisi keluarga yang serba kekurangan tetapi selama duduk dibangku pendidikan dasar aku tidak terlalu dipaksakan orang tua untuk bekerja diladang.
Satu hal yang menjadi rasa syukur waktu itu adalah di kampungku telah ada berdiri SMP, dan aku adalah angkatan ke VI. Sebelum sekolah ini ada, orang-orang harus berpisah dari orang tuanya diusia 12 tahun untuk melanjutkan pendidikan kekota, itupun kalau ada biaya.

Menjalani pendidikan ditingkat SMP (SMP Negeri 3 Sidamanik, saat ini da berubah menjadi SMP Negeri 1 P. Sidamanik)  memang menjadi sebuah anugerah. Guru-guru yang di SMP ku hampir semuanya berasal dari Kota dan cukup berkualitas. Ini adalah hasil perjuangan oang dikampungku, Jabanten Damanik yang saat itu menjadi Bupati Simalungun. Walau lokasi sekolahnya cukup jauh sekitar 1,5 Km dari rumahku.
Tiga tahun menjalani pendidikan aku juga dikenal sebagai orang yang pintar, Lulus dari sekolah dengan nilai tertinggi. Kalau aku dan kakaq bisa menjalani pendidikan dari SD - SMP ini adalah perjuangan seorang wanita (ibuku) yang cukup sabar dan tabah menjalani kerasnya kehidupan. Tiada hari tiada hari tanpa kerja keras, walau badan kurus dan sering sakit tidak membuat ibu patah semangat mendidik dan mengajari kami empat orang anaknya.

Masa SMA
 Lulus dengan nilai tertinggi dari SMP menjadi sebuah kebanggaan bagiku. Tetapi yang menjadi masalahnya aku bingung melanjut kemana. Orang-orang dikampungku meyarankan agar aku masuk STM  agar bisa langsung bekerja sesudah tamat. Kebanyakan orang kampungku memang demikian menyekolahkan anaknya ke SMEA atau STM karena sesudah tamat bisa langsung merantau ke Batam.
Sebelum mendaftar aku dibawa oleh ayahku konsultasi ke tempat namboru di Siantar. Dia menyarankan agar aku mendaftar ke SMA Negeri 4 karena pada waktu itu memang menjadi sekolah favorit di Siantar dan ternyata lulus. Aku tinggal bersama kakaq ditempat tanteku di Simpang Rambung Merah, saat itu kakaq kelas tiga dan ia disekolahkan tanteku.
Satu hal yang tertanam dalam mindsetq adalah kalau lulusan SMA harus kuliah baru bisa bekeja karena memang lulusan SMA dipersiapkan untuk kuliah. Kuliah dari mana uang?? Itu yang selalu kupikirkan. Karena memang selama SMA aku dan kaka dibiayai oleh tanteku, kalau memang ada kiriman dari mama syukur dan tanteku tidak pernah mempermasalahkannya.
Satu tahun aku menjalani pendidikan tidak memiliki harapan, kurang semangat belajar dan selalu minder melihat teman-teman. Kalau aku suka ama cewek, aku selalu takut dekat ama dia, itulah sankin minder nya aku, dan aku pikir sikap seperti itu masih ada dalam diriku, ntah kenapa aku tidak pernah selalu siap mendekati cewek yang aku tau secara status lebih baik dari aku. Aku kurang bergaul dan kalau ada jam istrahat biasanya aku  tetap dikelas duduk.
Aku pernah bolos tidak masuk pelajaran matematika semester dua padahal gurunya ditakuti, bu DM singkatan dari D. Damanik yang juga satu kampungku. Keesokan harinya aku dipanggil ke ruang guru, aku habis dibentak-bentak dan satu hal yang membuatku menangis adalah perkataan dari ibu itu : “ Aku tahu kondisi kehidupan ekonomi dikampungmu, Kukabari  bapak ama mamamu, langsung dipangil kau disuruh balik kekampung. Tak tau diri, lihat orang tuamu hidup susah dikampung.”
Spontan aku menangis, banyak guru yang lain pada saat itu.
Saat itu aku mulai serius belajar, pada tahun pertama aku tidak pernah juara. Diakhir semester aku pulang kampung dengan nilai pas-pasan. Aku dekat ama mama dan sering bercerita kalau pulang kampung. Pada waktu becerita, aku bilang kalau aku pingin kuliah, mamaku bilang kalau bisa masuk negeri, kita usahakan, ntah nanti kita pinjam uang atau gimana, penting belajarlah kau. Perkataan yang sungguh membuat aku semangat.
Awal semester aku semakin giat belajar, aku masuk IPA 2. Walau ada rasa kesal gak masuk kelas unggulan IPA 1 soalnya mereka dapat buku gratis. Dengan menyisihkan uang jajan, aq bisa membeli buku pelajaran yang bekas, pikirku gak bisa les bimbingan seperti kawan baiknya memiliki buku pelajaran lebih dari satu, Disemester pertama aku hanya dapat sepuluh besar tapi aku sangat senang karena aku menjadi salah satu wakil dari sekolah mengikuti olimpiade Fisika se-kota Siantar dan hanya bisa dapat Harapan II. Sepanjang  duduk kelas 2 hingga kelas 3 aku jalan kaki pergi dari simpang Rambung Merah ke sekolah setidaknya aku bisa hemat dan uangnya kutabung. Dikelas 3 aku minta bantuan kaka yang sudah merantau biar dikasi dana untuk ikut bimbel sampai intensive di GO. Aku ikut bimbel dan uang tabunganku aku buat untuk les matematika dengan beberapa orang kawan, yang diajar oleh salah satu guru kami.

Harapan Untuk Kuliah Hampir Pupus
Menjelang kelulusan dari SMA aku ditawari pihak sekolah untuk ikut ujian BMU SNMPTN yang memang dikhususkan buat orang yang tidak mampu, katanya kalau lulus akan dikasi beasiswa. Aku gunakan kesempatan ini dan pulang untuk mengurus berkas2nya kekampung. Berdoa biar lulus setidaknya biaya masuk tidak memberatkan orang tua, apalagi saat itu tanggungan orang tua bukan hanya ku tetapi juga adek cowok yang di SMA dan adek cewek SMP dikampung.
Habis lulus SMA aku ikut intensive di Medan, karena saat itu jalur ujian bukan hanya SNMPTN, aku ikut aja ujian UMB. Lulus di USU di Teknik Elektro, sempat bingung mau ambil atau gak, karena tidak ada dana. Aku sempat pasrah untuk tidak kuliah setidaknya pernah terdaftar lulus di PTN dan mau mencoba ujian jalur SNMPTN, siapa tau lulus bisa dapat beasiswa.
Dengan berusaha meminjam, ibuku bisa juga mencari dananya. Ntah dari mana waktu itu aku lupa, seingatku dari tanteku yang di Kalimantan. Selama SMA sudah dibantu keluarga dan untuk dana kuliah juga dibantu. Aku selalu merasa kalau aku dan keluarga jadi beban buat orang lain.
Kalau mengeluh aku sering bilang: kenapa aku gak dilahirkan dikeluarga yang berkecukupan….

Awal pekuliahan aku sempat berpikir tidak akan bisa melanjut, karena sering mendengar kalau biaya perkuliahan itu sangat mahal dan selalu berpikir nanti awal-awal aja bisa pertengahannya berhenti. Aku bersyukur  ketika ayahku sudah mau berjuang dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan  kami. Ketika adekq yang cowok kuliah, setelah dia berhenti satu tahun, sempat berpikir untuk PKA aja. Banyaknya ocehan orang kampungku yang terkadang membuat aku dan keluarga kurang semangat.. “ satu aja belum siap, kenapa sok jago bikin dua orang kuliah” karena mungkin orang pada tau kami punya banyak hutang maka bilang kayak gitu, mungkin...
Perkuliahan aku jalani dengan semangat, mengingat setiap kerja keras orang tuaku dan hanya itu yang membuat aku semaangat sekalipun pergumulan selalu ada. Terkadang karena lahir dalam keluarga yang serba berkekurangan membuat aku untuk memilki materi yang banyak. Itu berubah ketika mengerti arti hidup.
Masa menjalani mahasiswa adalah hal yang paling berkesan bagiku, karena pada masa ini aku mengenal apa arti hidup, menerima “Dia” sebagai Tuhan dan Juruslamat dan memiliki teman-teman di pelayanan mahasiswa. Masa SMA aku jalani dengan kurang bergaul dengan teman-teman seusiaku. Habis pulang sekolah aku langsung pulang, istrahat dan belajar. Ketika aktif di Pelayanan Mahasiswa baru aku mengenal dengan baik teman-teman SMA dulu.
Selama empat tahun kuliah, tiap memberitahu mama ada kebutuhan mendadak, pasti jawaban tunggu dulu aku cari. Itu juga alasan kenapa aku gak jadi-jadi les bahasa Inggris, bukan karena orang tua tidak menyarankan tetapi karena selalu disuruh sabar kalau aku minta uang untuk dana les.
Dulu semester dua aku sempat mengajar private dan itu hanya tiga bulan, karena aku tidak bisa fokus kuliah dan sangat kesulitan membagi waktu.
Dengan kondisi kekuangan yang seadanya aku menjalani perkuliahan, terkadang uang kurang tetapi syukur ada teman kelompok, Army yang bisa aku pinjami sebelum kiriman datang. Kalau seandainya uang dari kampung tidak ada biasanya aku minta dari kaka, sangat bersyukur punya kaka seperti dia.
Seringkali aku merasa cowok yang cengeng karena banyak menangis ketika berdoa, malu sendiri tetapi aku tidak bisa untuk tidak menangis. Saat-saat banyak pergumulan syukur ada orang-orang disekitarku yang selalu menguatkanku. Sudah menjadi kebiasaan aku suka menyendiri, merenung, ntah kenapa pada saat-saat seperti itu aku bisa melepaskan emosi dengan menangis, hmmm…. mungkin saja karena aku orang melankolik.
Kalau bisa menyelesaikan pendidikan sampai Strata Satu dalam waktu 4 tahun 4 bulan, ini sungguh anugerah yang sangat besar bagiku, mudah-mudahan aku bisa mempergunakan ilmuku untuk kemulian Tuhan dan berguna bagi sesama.
Ditengah-tengah banyaknya pergumulan penyertaan dan pemeliharaan Tuhan sungguh nyata bagiku, sehingga boleh menjalani perkuliahan dengan integritas. Tidak pernah mencontek, tidak pernah titip absen dan tidak pernah menyogok.

Sepanjang menjalani perkuliahan aku banyak mendapat dukungan dan doa dari banyak orang, dan hal yang bisa aku lakukan hanya mengucapkan terimakasih

Terimakasih buat kedua orang tuaku
Ayahku yang penuh semangat untuk membiayai aku selama perkulihan. Dulu aku pernah membencimu, ada dendam dalam diriku karena perlakuanmu. Dan aku sadar, aku juga sama sepertimu keras, dan jugul. Sepanjang 4 tahun ini aku bisa melihat sosok seorang ayah dalam dirimu, dan itu hal yang aku syukuri.
Buat mamaku, hanya lulus SD tetapi sangat berpikiran luas. Doa dan didikan darimu yang menempa aku sehingga bisa seperti sekarang ini. Aku sangat bersyukur bisa punya mama sepertimu dan aku bisa dekat amamu.

Terima kasih buat KTB Hebron_Exaudi.
Army, Bang Iventura, Bang Ojak, Bang Donal dan Bang Leo. Dikelompok ini aku banyak mengalami pembentukan dan membagikan pergumulanku. Terima kasih buat doa-doa yang kalian panjatkan untukq, Terima kasih telah bersedia mendengarkan setiap pergumulanku.

Terimakasih buat KK The PaSCaL (Priority and Solidarity in Christ as our Lord).
Anry, Christian, Sepri, Surya, Afronika, dan Youki.
Aku selalu berpikir untuk menjadi Pemimpin Kelompok Kecil yang menginpirasi adek-adek KKq dengan perjalanan hidup yang penuh dengan iman. Dan sadar, itu belum bisa aku tunjukkan pada kalian. Dikelompok aku seharusnya yang paling banyak mendengar pergumulan kalian tetapi malah aku yang paling sering mengeluh. Terima kasih telah mau menjadi pendengar buat setiap pegumulanku, mau mendoakan aku dan mendorong agar aku tetap semangat. Setiap kita kelompok aku merasakan kalau persekutuan itu yang membuat aku kuat. Aku berdoa tahun ini, diantara kalian ada yang sudah menjadi PKK.

Terima kasih buat Stif, Daniel dan Refrina
Memang belum lama aku mengenal kalian tetapi aq saya bersyukur kepada Tuhan buat kerinduan yang kalian mimiliki untuk bertumbuh.

Terima Kasih Buat teman-teman di pelayanan UKM KMK USU UP FT
Terkhusus Tim_Sel(Atania, Colin, Sinur, Bg Leo, Ka Yusnia)
Terima kasih buat doa-doanya dan kebersamaan kita.
Terima kasih buat teman-teman kordinasi, teman-teman stambuk 2008.

Terimaksih buat teman-teman Panitia KMRSU VIII,
Terimakasih buat persekutuan kita yang sangat membangun, buat kebersamaan dan kerjakeras dalam pelayanan besar yang Tuhan beikan untuk kita kerjakan.

Harapan Di Usia 24 Tahun…      
Visi Pribadi
Aku belum mengerjakan apapun dalam hal mencapai Visi Pribadi ku.
Tahun ini aku masih harus menyelesaikan pelayanan di kepanitian KMRSU VIII, dan berharap setelah selesai pelayanan ini aku segera bisa memikirkan apa yang akan kukerjakan.
Berharap aku tetap kuat mengerjakan pelayanan ini dan di KNM tahun ini aku semakin kuat dalam mengerjakan visi pribadi.

Kedewasaan Iman
Sangat sukar mengukurnya, tetapi dari kebergantunganku kepada Tuhan aku bisa menilai kalau aku belum memiliki kedewasaan iman, terkadang masih sering mengandalkan kekuatan sendiri. Diusia 24 tahun aku berharap lebih bergantung kepada Tuhan. Semakin banyak merefleksi, berdiam diri dan lebih menikmati doa pribadi. Banyak karakter yang belum berubah dalam diriku dan berharap semoga semakin hari semakin menyerupai Kristus.

Teman Hidup
Mencari teman hidup memang sulit, itu menurutku ya..
Itu karena aku selalu ragu-ragu untuk maju ke tahap yang lebih tinggi.
Sempat berpikir apakah kriteria yang kubuat terlalu tinggi atau memang karena aku orangnya perfeksionis.
Aku sangat berharap memiliki teman hidup yang mencintai Kristus, sudah LB tentunya, mendukungku untuk mengerjakan panggilan dan nilai-nilai hidupnya bisa aku terima terkhusus kemauan untuk hidup sederhana (simplicity).
Satu hal yang belum hilang dalam diriku adalah perasaan minder, takut ditolak sehingga ragu untuk melangkah. Sangat berharap diusia ke 24 aku sudah memiliki teman hidup.
Kasih itu sabar...
aku tidak boleh buru-buru memutuskannya.


Empat tahun melayani Tuhan, sungguh adalah anugerah terbesar buatku, ketika aku boleh dipakaiNya untuk setiap kelemahanku..
Aku mau tetap setia, menjalani pertandingan yang Tuhan tetapkan untukku..

Lagu ini sungguh mengingatkanku dan membuat aq menangis ketika merenungkan perjalanan hidup hingga bisa mencapai 24 tahun. 

Selidiki aku, lihat hatiku
Apakah ‘ku sungguh mengasihiMu Yesus
Kau yang Maha tahu dan mengenal hidupku
Tak ada yang tersembunyi bagiMu

T’lah ‘ku lihat kebaikanMu,
Yang tak pernah habis dihidupku
‘Ku berjuang sampai akhirnya,
Kau dapati aku tetap setia


Senin, 11 Maret 2013

Love More Than Feeling


One of the things that we as a culture have forgotten (did we ever really know it? Has any culture every really known it?) is that love is much more than just a feeling. Love is equally, if not more so, also a virtue—a collection of several virtues.
It’s not enough—in fact it’s never enough—to just feel love for one’s partner; one also has to be able to act consistently with love towards one’s partner, even when—especially when—the feeling is absent or waning. That’s what demonstrates our love and proves that it’s real, that all of our “I love you”s are truly worth something and not just counterfeit or bad checks written by a lost soul or a morally bankrupt person.
And to be able to be a truly loving person requires that we do some serious inner work and personal growth.
There are a lot of people who claim to be spiritual, who claim to be doing inner work, who claim to be spiritual seekers, et cetera, but it doesn’t really seem to show up in their daily lives, it doesn’t seem to impact their capacity to love and be loved. Their inner work just doesn’t seem to be helping them become a “better” person, doesn’t seem to be helping them to become more genuinely loving and virtuous and courageous.  And so likely their inner work is false; it’s self-indulgent, essentially just another way of indulging their narcissism and their neurosis (their avoidant tendencies; their fears and lack of perspective; their want to think of themselves as something—spiritual, “love & light”—independent of how they are behaving and how they are actually living).
In the final analysis, real inner growth is about learning how to become a more genuinely loving person. But it also, on the other hand, means cultivating the virtues and traits and capacities that will allow us to be a truly more loving (and open and generous and giving) person.
Love is not just a feeling, it’s not just about chemistry and connection; it’s about what we do with that connection, how we honor it or whether we dishonor it. Two people can meet, be brought together in this crazy world, have all of the rush and intoxication of automatic or romantic love and infatuation— have all the external raw materials necessary—but if one or both of these people are not also genuinely loving people, then the relationship will sooner or later, and more likely sooner than later, go badly, fall apart, crash on the shore. Their immaturities and childishness and neuroticness will get the best of them and destroy the relationship and all the chemistry they found. They will end up making a hell out of something that could have been very heavenly—very warm and nurturing and loving and generous and real.
On the other hand, bring two people together who have done some real inner work and have become much more loving and decent people, and that changes everything. They are capable of making and helping sustain a heaven out of heaven, instead of it deteriorating into something hellish. They are capable of actually loving the other person, extending themselves, facing and confronting themselves, living with perspective and in accordance with what ultimately matters in life. Even if a relationship or a connection was only good to begin with, two truly decent and loving people can make something heavenly and profound and beautiful out of that. But even if a connection is off-the-charts wonderful and extraordinary to begin with, if one or both people are not loving, they—because of who they are inside—will cripple and kill the relationship.
Whenever we meet someone we’re really interested in and attracted to and feel resonance or a connection with, what ultimately becomes of that connection will depend on who the two people are inside—their character, their conscience, their level of moral and self-development, their level of emotional maturity (differentiation), how much perspective they have (are they integrating their own and others’ mortality into their daily lives and decision-making), what values and virtues and principles and ideals they live by and are trying to more and more embody.
St. Paul had it right when, in First Corinthians, he tied love—our capacity to love—to the virtues, making our capacity to love a question of—and a reflection of—how virtuous and morally well-developed we are. If our love is also not—if we are not also not—patient, kind, forbearing, forgiving, resilient, humble, generous, appreciative, dedicated to truth, and so on, then we are not a truly loving human being, and all of our “I love you”s are nothing more than soon to be shown to be empty vacant over-promises.
Just look at the passage and read between the lines at the virtues St. Paul is speaking of:

Love is patient, love is kind. It does not envy, it does not boast, it is not inflated. It is not rude, it is not self-seeking, it is not easily angered or quick-tempered, it does not brood over injury. Love does not delight over wrongdoing but rejoices with the truth. It bears all things, believes all things, hopes all things, endures all things, perseveres through all things. Love never fails.” (1 Corinthians 13: 4-7)

How many of these things are you? How many of these things—these qualities, these virtues—am I and do I embody so much so that they have become traits in me—character traits in me? Am I patient? Am I kind? Am I always kind? Am I envious? Do I boast and brag and run on narcissistic pride and self-aggrandizement? Am I rude? Am I self-centered and self-seeking? Am I resentful? Can I forgive or do I sandbag and hold on to my injuries and use them as leverage and excuses? Am I fiercely dedicated to the truth? How well do I bear another’s shortcomings and character flaws and neuroticness? How well do I bear her mental illness (if that’s what it is and what I’m faced with)? How well do I bear her Borderline or Bi-Polar Personality Disorder, her borderline or antisocial tendencies or avoidant tendencies, her tendency to run away and hide or wall up? How persevering am I? How well do I walk the extra mile or two or three or more? How well am I imitating Jesus or Buddha and or living from what’s best in me?
These are the questions that can change everything in life for us—asking these questions, living these questions, trying more and more to become living examples or embodiments of these virtues. For these virtues, when they become stable character traits in us, are what make us more genuinely loving human beings. Not that we’ve found someone to love, but that we are actually capable of loving another, this is something that we’ve forgotten the importance of nowadays.  It doesn’t matter who we find and how much chemistry is gifted us if deep down beneath it all we are not a genuinely decent and loving person.  In our quest for happiness and love, we’ve forgotten the importance of becoming more loving and the real self-development required if we are to become better able to actually love another. Unless we are patient, understanding (as in seeking first to understand), kind, compassionate, honest, self-aware, able to self-confront (face ourselves), dedicated to truth more than our own comfort, deal maturely with our own reactivity, courageous, able to admit when we’re wrong or when we’ve acted from what’s less than best in us (meaning what’s worst and weakest and most neurotic in us), able to override our “feelings” when they’re unloving or distorted and not act (out) on them—unless we can learn to do all of these things, or at least try really really hard to embody all of these things, and keep trying, keep picking ourselves up and dusting ourselves off and trying to live these virtues—we will not be able to truly love or be loved.
And that would be very sad, because to me it would seem that it is a waste of this life to pass through this world without having learned how to love and how to be the most loving person we can be. If we’re not living for this, then what are we living for? If this isn’t what will matter in the end, or when we get the cancer diagnosis, or when the plane is going down, then what will?