Minggu, 22 Juli 2012

Boy meets Girl



Cinta itu ibarat bunga, ia tidak dapat dipaksa ataupun dipercepat untuk mekar. Ia akan mekar dan mengeluarkan aromanya seiring dengan berjalannya waktu, melalui pengenalan yang baik antara dua insan pribadi.
Ini adalah salah satu point yang aku dapat ketika membaca buku ini. Buku ini ditulis oleh  Joshua Harris yang merupakan lanjutan dari buku pertamanya, I Kissed Dating Goodbye. Tiga Bab dalam buku ini, sangat menarik dan sangat alkitabiah untuk jadi perenungan sekaligus pedoman ketika menjalani masa menjalin hubungan lawan jenis baik itu ketika pacaran, sedang menggumulkan ataupun bersahabat.
            Bab pertama dengan judul memikirkan ulang percintaan, dalam bab ini Harris membukakan kisah-kisah yang sangat menarik dari cowok dan cewek yang menemukan arti pentingnya saling mengenal, dengan bahasa yang sederhana Harris memaparkan itu semua. Menunggu dan jangan terburu-buru untuk memulai hubungan tetapi atas tuntunan Tuhan. Bagi mereka yang lagi keasmaran alias jatuh cinta pasti akan tersenyum-senyum ketika membaca setiap kisah romantis dari setiap pasangan yang dibukakan dalam bab ini (teringat ketika membaca buku ini tahun lalu…..).
            Bab kedua, Masa menjalin hubungan lawan jenis. Bab ini sangat dibutuhkan mereka yang sudah pacaran. Banyak hal yang dipaparkan dalam bab ini : Apa seharusnya yang kita yang kita lakukan ketika berpacaran, menjalin relasi dengan orang sekitar sehingga ketika berpacaran kita juga mendapatkan masukan dan dukungan dari orang diluar kita, gereja, keluarga dan pembimbing rohani kita. Harris juga membukakann hal lain yang tidak kalah penting dalam berpacaran yaitu memahami peran sebagai pria dan wanita yang nanti kelak akan berguna ketika sudah menikah. Akhir dari bab ini Harris membawa pembacanya agar memahami arti seks dalam berpacaran, seks yang merupakan sebuah anugerah bukan untuk disalahgunakan. Bagaimana mengatasi dorongan seks ketika berpacaran dan batasan-batasan apa yang diperlukan ketika berpacaran, sangat baik dijelaskan dalam bagian penutup dari bab ini.
            Bab ketiga, Sebelum kamu berkata, "Ya, Saya Bersedia, berbicara tentang persiapan menuju pernikahan dan hal-hal apa saja yang perlu kita bicarakan untuk melangkah menuju tahap pernikahan termasuk arah pernikahan, peran sebagai seorang laki-laki dan komitmen untuk taat seumur hidup.

Secara pribadi saya sangat merekomendasikan buku ini untuk dibaca mereka yang akan atau sedang berpacaran. Dan saya telah membacanya tiga kali dan setiap membaca saya selalu dapat hal baru dari buku ini. Untuk mendapatkan buku ini silakan beli disini ataupun ditoko buku  kristen terdekat dikota Anda.

Sabtu, 21 Juli 2012

Taat Karena Pengenalan



Sebuah Refleksi Dari Ketaatan Abraham
(Kejadian 22:1-18)

            Allah memanggil Abraham keluar dari tanah Ur-Kasdim ke tanah perjanjian dengan menjanjikan akan membuat dia menjadi bangsa yang besar. Selama bertahun-tahun ia menanti penggenapan janji itu dan lahirnya Ishak memberi harapan jikalau janji itu akan tergenapi, tetapi dengan alasan yang tidak Abraham ketahui Tuhan memerintahkan agar dia mengorbankan anaknya. Pada bagian perikop ini kita melihat bagaimana Tuhan mencoba Abraham. Kata mencoba (ayat 1) dalam Alkitab terjemahan bahasa Inggris (NIV) diterjemahkan dengan ‘tested’  artinya Abraham diuji bukan dicobai, karena pencobaan tidak pernah datang dari Tuhan, bandingkan Yak 1:13.
            Allah berfirman kepada Abraham : "Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu”(ayat 2).
Sebuah perintah yang sangat mengejutkan dan pasti sebagai seorang manusia Abraham memiliki pergumulan berat untuk melaksanakannya, bagaimana mungkin seorang ayah menyembelih anaknya untuk dijadikan korban bakaran. Apa yang ada dipikiran Abraham ketika Tuhan berfirman seperti ini kepada dia, tentu ia melihat Allah yang berbeda dari selama ini yang dia kenal. Pertama, Abraham tidak lagi melihat Allah konsisten terhadap janjinya, Allah yang tidak setia. Allah pernah berjanji kepadanya : Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat.(Kej 12:3). Bagaimana mungkin dia akan memiliki keturunan yang besar seperti debu pasir banyak jika Allah meminta Ishak untuk dipersembahkan?
Kedua, Abraham tidak lagi melihat Allah sebagai Allah yang penuh kasih tetapi Allah yang mencuri sukacitanya. Luapan sukacita Abraham sangat jelas ketika kelahiran anaknya sehingga dia menamainya Ishak artinya ‘tertawa’(laughter). Tentu ketika Allah ingin anaknya dikorbankan Abraham, timbul pertanyaan yang sangat besar dalam dirinya. Mengapa Allah ingin  mengambil sukacitanya yang begitu besar?.
Ketiga, Abraham tidak lagi melihat Allah yang murah hati tetapi Allah yang menuntut terlalu banyak. Abraham telah rela meninggalkan semuanya demi panggilan Tuhan, ia rela meninggalkan negerinya dan rumah bapanya serta sanak saudaranya ke tempat yang tidak dia ketahui. Bertahun-tahun ia menantikan Ishak, anak perjanjian itu dengan iman dan hidup yang dipersembahkan kepada dan hanya untuk Tuhan. Apakah itu belum cukup sehingga harus meminta untuk mengorbankan Ishak, anak yang dikasihinya?. Mengapa Tuhan tidak meminta yang lain saja? Mengapa Tuhan menyodorkan pilihan yang begitu sulit anak yang kukasihi atau Engkau? Mengapa tidak menyuruh aku melakukan pekerjaan yang lain saja? Mengapa??
Setiap kita, jika masuk kedalam kondisi seperti yang dialami oleh Abraham tentu pertanyaan ini yang muncul dalam benak kita, Mengapa. Dan semakin lama kita bertanya, kita pasti akan lebih mengandalkan ratio kita daripada kehendak Tuhan. Seringkali Tuhan membawa kita kepada persoalan-persoalan hidup yang begitu rumit dan penderitaan serta permasalahan untuk menguji iman dan kasih kita kepadaNya. Melalui kesulitan dan tantangan hidup iman kita dihidupkan dan kasih dimurnikan. Karena tanpa penderitaan dan kesusahan tidak ada pertumbuhan (Roma 5:3, Yak 1:3).
            Pagi-pagi benar Abraham sudah bangun dan ia memasang pelana keledainya, memanggil dua orang budak untuk menyertai perjalanannya serta anaknya Ishak. Dibelahnya kayu untuk korban bakaran lalu berangkat ke gunung Moria, gunung yang Tuhan tetapkan sebagai tempat untuk mempersembahkan Ishak(ayat 3). Ini adalah sebuah ketaatan yang sungguh luar biasa, Abraham tetap mengerjakan perintah Tuhan. Ia taat bukan ketika menemukan alasan mengapa Tuhan   memerintahkan hal itu, justru sebaliknya ia tidak menemukan jawabannya.
Sebagai orang Kristen, seringkali kita mengakui mengasihi Tuhan dan beriman kepadaNya, tetapi disisi lain sering kali kita membuat dikotomi antara menerima Yesus sebagai Tuhan dan Jurus’lamat. Mungkin dengan sigapnya kita mengatakan Yesus adalah Jurus’lamatku tetapi sudahkah kita sepenuhnya mengakui-Nya sebagai Tuhan. Berdalih ketika mendengar suara Tuhan karena tidak mengenakkan  dan menyulitkan hidup kita. Berusaha untuk merasionalisakan segala sesuatu agar kita terluput dari jalan yang sulit ketika mengikut Tuhan. Panggilan kita bukan masuk melalui jalan yang luas tetapi melalui jalan yang sempit dan sesak menuju jalan kehidupan, Abraham memilih jalan itu, jalan yang mungkin orang akan tolak untuk dikerjakan.
            Pada hari ketiga Abraham baru melihat tempat itu (red:tanah moria) dari jauh(ayat 4). Perjalanan dari Bersyeba ke tanah Moria merupakan perjalanan yang panjang dan terberat bagi Abraham. Barnes commentaries memberikan penjelasan tentang ayat ini :From Beer-sheba to the Shalem of Melkizedec, near which this hill is supposed to have been, is about forty-five miles. If they proceeded fifteen miles on the first broken day, twenty on the second, and ten on the third, they would come within sight of the place early on the third day”.(Dari Bersyeba ke Shalem Melkisedek, dekat ke bukit moria sekitar 45 mil. Jika mereka menempuh perjalanan 15 mil hari pertama, 20 mil hari kedua dan 10 mil hari ketiga, mereka dalam posisi yang lurus dengan gunung moria pada hari ketiga). Perjalanan panjang dan berat bukan karena jarak dan kondisi geografisnya tetapi karena tekanan psikologis dan pergumulan sepanjang perjalanan. Tiga hari ia harus bersama Ishak, buah hatinya selama itu pula ia menyimpan rahasia untuk apa yang akan terjadi nanti. Selama tiga hari itu pula ia harus bergumul tetap melanjutkan perjalanan atau kembali ke Bersyeba, bahagia bersama isteri dan anak yang dikasihinya. Tentu ini adalah tekanan yang sangat berat baginya, ketika ia menoleh kebelakang ia melihat kebahagian itu dan ketika ia memandang lurus ke gunung moria ia melihat Tuhan harus lebih dikasihi lebih dari apapun.
Mengikut Tuhan bukan sesuatu yang mudah, bahkan mungkin lebih menyulitkan hidup kita. Tekanan-tekanan berat sebagai konsekuensi iman kita seringkali membuat kita ingin meninggalkan iman Kristiani kita. Tidak jarang kita ingin berlari masuk ke dalam kehidupan kita yang lama, menikmati kebebasan hidup dan lepas dari perintah-perintah Tuhan. Namun kita perlu belajar seperti Abraham, taat walaupun tidak menemukan alasannya; taat berapa pun harga yang harus dibayarnya. Terus maju berjalan semakin tinggi ke gunung Tuhan.
            Pada hari ketiga, Abraham sampai di kaki gunung moria dan berkata kepada kedua orang budaknya: “Tinggallah kamu di sini dengan keledai ini; aku beserta anak ini akan pergi ke sana; kami akan sembahyang, sesudah itu kami kembali kepadamu."(ayat 5).  Kalau kita perhatikan subjek dari kalimat yang digunakan oleh Abraham yaitu ‘Kami’ yang artinya ia dan Ishak akan kembali lagi, Bagaimana mungkin ia dapat mengatakan demikian? Bagaimana ia dapat memiliki iman seperti itu? Hanya satu alasan yang logis, yaitu Abraham tetap percaya janji Tuhan. Abraham tetap percaya kalau melalui Ishak penggenapan janji Allah akan nyata. Kalau Tuhan memintanya untuk aku korbankan berarti Ia akan membangkitkannya lagi karena Dia Allah yang maha kuasa. Abraham percaya pada kemahakuasaan Allah, bahwa Allah itu baik dan dapat disandari. Itulah sebabnya ia berkata, “kami akan kembali kepadamu” (Ibr 11:19).
Keyakinan Abraham lahir dari pengenalan akan Allah yang benar, namun pengenalan akan Allah yang benar tidak akan pernah menghasilkan apa-apa jika kita tidak mewujudkannya dalam perbuatan, khususnya pada masa-masa kebimbangan. Yakinlah bahwa Allah itu baik dan dapat
dipercayai. Bersandarlah terus kepada-Nya dan bukan kepada yang lain.
            Waktu mereka berjalan bersama mendaki gunung itu, Ishak bertanya kepada ayahnya, “Bapa, di sini sudah ada api dan kayu, tetapi di manakah anak domba untuk korban bakaran itu?(ayat 6-7). Mungkin inilah pertanyaan yang paling Abraham takutkan selama tiga hari. Ia memang percaya bahwa Allah mampu untuk membangkitkan Ishak, tetapi mengapa dengan tangannya sendiri ia harus mengakhiri hidup anak yang dikasihinya. Sejak muda ia sudah biasa menyembelih domba yang akan dijadikan korban bakaran, mengulitinya dan membersihkannya sebelum diletakkan di mezbah dan dibakar. Hatinya tidak pernah merasa takut atau sedih. Tetapi sekarang, bukan domba yang akan ia sembelih melainkan seorang manusia, seorang remaja dan remaja itu adalah anaknya sendiri, anak yang sangat dikasihinya. Hati bapa manakah yang tidak akan bergumul jika diminta untuk melakukan hal itu? Imannya diuji kembali: Lulus atau gagalkah ia? Masih ada waktu bagi Abraham untuk turun meninggalkan jalan persembahan yang berat itu. Tidak ada seorang pun yang akan menyalahkannya. Tidak ada seorang pun yang tidak dapat memahami kesulitannya. Ia dapat mengajak Ishak turun, pulang, berlari ke alam kebebasan mengatur jalan hidupnya sendiri.
            Abraham tidak melakukan hal itu. Ia mendaki terus dan menjawab dengan penuh iman, "Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagi-Nya, anakku." (ayat 8). Yehova Jireh! The Lord will provide (NIV). Jawaban Abraham kepada Ishak merupakan salah satu pernyataan iman terbesar yang pernah dicacat di dalam Alkitab. Iman bukanlah percaya yang membabi buta atau tindakan melompat dalam kegelapan, melainkan suatu tindakan percaya yang diambil karena kita mengenal siapa yang kita percayai. Abraham jelas tidak tahu bagaimana caranya, kapan dan dimana Allah akan menyediakan domba itu. Tetapi ia tahu siapakah Allah yang ia percayai itu. Allah yang Mahakuasa yang mampu berbuat dengan caranya, waktunya dan tempatnya sendiri. Yang perlu ia lakukan adalah taat, tidak kurang dan tidak lebih. Ketaatan adalah kunci yang tidak dapat ditawar-tawar lagi untuk mengalami Yehova Jireh. Ketaatan memang tidak selalu menyenangkan. Bahkan, pada kenyataannya, seringkali menyakitkan.
            Sesampainya mereka dipuncak gunung. Lalu Abraham mendirikan mezbah di situ, disusunnyalah kayu, diikatnya Ishak, anaknya itu, dan diletakkannya di mezbah itu, di atas kayu api. Sesudah itu Abraham mengulurkan tangannya, lalu mengambil pisau untuk menyembelih anaknya(ayat 9-10). Alkitab tidak mencatat apa yang menjadi respon Ishak untuk semua perlakuan Abraham kepadanya, ibarat domba yang siap untuk disembelih demikanlah Ishak pada waktu itu. Entah apa yang dirasakan Abraham saat itu, yang pasti penderitaan batin semakin kuat ketika harus menyembelih anak yang begitu dikasihinya. Dimana Allah saat itu, ia tidak melihat tanda-tanda apapun dari Allah tetapi itu tidak membuat dia tidak percaya. Inilah iman, keyakinan bahwa apa yang kita inginkan akan terlaksana. Iman ialah kepastian bahwa yang kita harapkan sudah menantikan kita, walaupun hal itu belum dapat kita lihat sekarang.
            Tetapi  sebelum Abraham menyembelih anaknya berserulah malaikat Tuhan dari langit : "Abraham, Abraham. "Jangan bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku." (ayat 11-12). Pergumulan yang berat segera berakhir ketika mendengar perkataan malaikat Tuhan itu. Ia pun mendapat ganti untuk dikorbakan kepada Tuhan, sesekor domba jantan. Dan Abraham memberi nama tempat itu Tuhan menyediakan, The LORD Will Provide(ayat 13-14). Abraham lulus dari ujian iman yang dibuat oleh Allah dan apa yang membuat dia menjadi pemenang adalah ketaatan yang mutlak. Apa yang membuat kita tidak taat, mungkin pergumulan untuk tetap dalam kebenaran atau memilih yang lain, sesuatu yang tidak kita dapatkan sampai sekarang atau kekhawatiran yang begitu besar akan hari esok. Yakinlah Tuhan akan menyediakannya, asal kita memilki iman, iman yang membawa kita kepada sebuah ketaatan mutlak.
            Allah kembali meneguhkan perjanjianNya kepada Abraham, Karena engkau telah berbuat demikian, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku, maka Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah dan membuat keturunanmu sangat banyak seperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi laut, dan keturunanmu itu akan menduduki kota-kota musuhnya. Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku (ayat 15-18). Inilah buah dari ketaatan, Tuhan pasti memperhitungkan setiap ketaatan kita. Ketaatan yang sama juga terjadi pada Sadrak, Mesak, dan Abednego ketika mereka tetap taat dengan menjaga integritas mereka akhirnya mereka mendapat kedudukan yang tinggi di Babel. Demikian juga Yesus yang rela merendahkan dirinya dan taat sampai mati dan akhirnya Ia ditinggikan dan dianugerahi nama diatas segala nama. Mari melihat pergumulan, penderitaan dan kesusahan yang kita alami ketika mengikut Tuhan sebagai jalan untuk mencapai kemulian. Mari taat bukan karena terpaksa tetapi karena pengenalan yang benar akan Tuhan, sehingga apa yang menjadi keinginan Paulus juga menjadi keinginan kita: Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati.(Filipi 2:10).
TYM

Kamis, 19 Juli 2012

About Me

Saya lahir tanggal 1 April 1989, anak kedua dari empat bersaudara dan dibesarkan dalam keluarga yang cukup sederhana. Tahun 1996-2005 saya menjalani pendidikan tingkat SD dan SMP di tempat saya lahir.
Pertengahan tahun 2005 saya melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi yaitu SMA tepatnya SMAN 4 P. Siantar.

Dan tahun 2008 adalah tahun dimana saya menjadi seorang mahasiswa sampai sekarang (saat pembuatan blog ini) yaitu Mahasiswa Teknik jurusan Teknik Elektro Univ. Sumatera Utara. Disinilah saya menerima Yesus sebagai Tuhan dan Jurus'lamat pribadi dan bersedia dibina.

Tahun ketiga dibina, barulah dalam diri saya ada kerinduan untuk menjadi seorang PKK(Pemimpin Kelompok Kecil) dan itu menjadi pelayanan saya sekarang selain menjadi Tim-Sel di UKM KMK USU UP FT.

Blog ini saya buat untuk tempat berbagi baik pengalaman pribadi ataupun hal-hal yang membuat orang-orang yang membacanya bertumbuh dan semakin mengenal Tuhan melalui apa yang kan saya bagikan. Ini yang menjadi keinginan saya di awal tahun 2012 tetapi karena kesibukan memulai Kerja Praktek dan kuliah yang masih padat akhirnya baru sekarang terealisasi. Mudah-mudahan blog ini bermanfaat.